Tari dan Identitas Bangsa: Refleksi Hari Tari Internasional dan Masa Depan Warisan Budaya Indonesia

Rabu 30-04-2025,21:04 WIB
Oleh: IGAK Satrya Wibawa*

Ketiga, adaptasi di era digital. Dunia sedang bergerak cepat ke arah digitalisasi budaya. Tarian sebagai seni berbasis gerak harus beradaptasi dengan platform digital, baik untuk dokumentasi, promosi, maupun pembelajaran. 

Namun, digitalisasi yang sembrono justru berisiko mereduksi pengalaman emosional dan kontekstual dari tarian itu sendiri. Apalagi, hingga kini, Indonesia belum memiliki tata kelola yang komprehensif dalam mengatur aksesi digitalisasi dan akal imitasi. 

Menghadapi tantangan tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis dan berkelanjutan. 

Pertama, kurikulum sekolah harus memberikan ruang yang lebih besar bagi pengenalan dan praktik tarian tradisional. Pendidikan formal perlu dilengkapi dengan program-program ekstrakurikuler berbasis komunitas lokal. 

Malaysia bahkan sudah melaksanakan lebih dulu. Di Malaysia, prosesi wisuda kampus-kampus ternama seperti Universiti Malaya dan Universiti Putra Malaysia diiringi dengan gamelan melayu Jawa dan angklung.

Kedua, memberikan perlindungan hukum dan dukungan insentif pada inovasi berbasis kearifan lokal. Insentif berupa dana, penghargaan, dan fasilitasi pelatihan seperti Anugrah Maestro Seni Tradisi dan Program ”Seniman Mengajar” perlu dilanjutkan secara intensif.  

Regenerasi tari harus dilakukan dengan pendekatan kreatif yang tetap setia pada akar budaya. Misalnya, mendorong kolaborasi antara maestro tari tradisional dan koreografer kontemporer untuk menciptakan karya yang relevan dengan zaman tanpa menghilangkan roh tradisi.

Ketiga, memperkuat diplomasi budaya. Indonesia harus lebih aktif menggunakan tari sebagai instrumen diplomasi internasional. Program pertukaran budaya, festival tari internasional, dan pementasan di forum dunia harus terus diperkuat sebagai bagian dari soft power Indonesia. 

Pengalaman di Singapura dan Paris, peran diaspora Indonesia sangat signifikan dalam membantu usaha pelestarian budaya Indonesia. Juga, peran warga negara asing yang malah sering kali lebih militan dalam berkegiatan seni tari tradisi Indonesia dapat didukung sebagai cara memperluas jangkauan.

Tari bukan sekadar gerak ritmis, melainkan juga perwujudan jiwa kolektif bangsa. Melalui tari, kita menuturkan cerita tentang asal-usul, nilai, dan cita-cita kita sebagai bangsa. 

Oleh karena itu, Hari Tari Internasional bukan sekadar perayaan estetika, melainkan juga peringatan atas tanggung jawab besar menjaga nyala jiwa itu tetap hidup. 

Hanya dengan komitmen kolektif –dari negara, komunitas, hingga individu muda– kita dapat memastikan bahwa tarian Nusantara tetap menari di panggung dunia. Bukan sebagai peninggalan masa lalu, melainkan sebagai denyut hidup yang terus berlanjut. (*)

*) IGAK Satrya Wibawa adalah duta besar/wakil delegasi tetap Indonesia untuk UNESCO dan staf pengajar Departemen Komunikasi FISIP dan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

 

Kategori :