Mereka dijerat Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman maksimal hukuman mati. Minimal 20 tahun penjara. Juga, pasal perampokan 365 KUHP.
Pekerjaan sopir taksi berisiko dibunuh-dirampok. Sudah sangat sering terjadi.
Dikutip dari CBS News, 19 Juli 2017, berjudul The 20 deadliest jobs in America, ranked, diungkap bahwa di Amerika Serikat (AS) pekerjaan yang paling berisiko dibunuh adalah sopir taksi.
Dijelaskan, berdasar data Biro Statistik Tenaga Kerja setempat, peringkat tertinggi pekerja yang berisiko mati (bukan akibat pembunuhan) adalah penebang kayu. Datanya 132,7 kematian per 100.000 penduduk.
Penebang kayu berhadapan dengan pohon-pohon besar yang ditumbangkan. Mereka berhadapan medan curam dan mesin-mesin berat serta kondisi cuaca yang berubah-ubah.
Sopir taksi di peringkat ke-11 untuk kematian. Namun, peringkat tertinggi untuk pembunuhan. Meskipun, di taksi AS, para penumpang duduk di jok belakang. Antara pengemudi dan penumpang dibatasi kaca antipeluru. Ada juga taksi yang dibatasi dengan pagar besi. Model itu sudah ada sejak lebih dari setengah abad lalu.
Dikutip dari buletin Taxi Library yang berbasis di New York, AS, berjudul Why do they kill cab drivers?, diungkapkan aneka bentuk pembunuhan sopir taksi.
Taxi Library dikelola Charles Rathbone yang mulai bekerja sebagai pengemudi taksi di San Francisco, AS, pada 1975. Di sana berisi aneka hal tentang taksi, termasuk keselamatan driver.
Diungkap, membunuh sopir taksi dengan tujuan merampok sudah sangat sering di AS. Bahkan, banyak juga pembunuh sopir taksi yang bertujuan pamer keberanian membunuh. Mobil dan uang sopir ditinggalkan begitu saja oleh pelaku.
Di sana komposisi antara pembunuhan sopir taksi bertujuan merampok dan pamer kekuatan sekitar 50:50. Sedangkan di Indonesia hampir 100 persen bertujuan perampokan.
Diungkapkan, calon pembunuh sopir taksi di sana punya taktik sebelum membunuh. Yakni, membuat gara-gara.
Misalnya, meludah di dalam mobil. Atau, muntah, pura-pura mabuk. Atau, mengejek sopir. Atau, apa pun yang membikin sopir emosi, kemudian menghentikan mobilnya dan keluar dari mobil untuk memarahi penumpang. Sebab, ada pembatas antara sopir dan penumpang.
Saat sopir keluar mobil itulah, pelaku dengan cepat menarik sopir masuk ke jok belakang, lalu membunuhnya.
Maka, diperingatkan agar sopir taksi di sana mengabaikan gara-gara yang dibikin penumpang. Jangan terpancing emosi. Sebab, pancingan itu indikator bakal terjadi pembunuhan.
Kabin taksi di Indonesia tanpa penyekat antara pengemudi dan penumpang. Bahkan, penumpang boleh duduk di kiri depan. Pernah, di zaman Covid, ada penyekat antara sopir dan penumpang. Tapi, penyekatnya dinding plastik yang gampang disobek pisau.
Sopir taksi seperti korban di kasus itu cuma ”orang kecil” yang menjalankan mobil perusahaan taksi. Perlukah regulasi agar perusahaan taksi wajib memberikan penyekat antara sopir dan penumpang? (*)