Kedua, dalam hal merekrut staf pendidik baru, fokus ditempatkan pada kriteria seperti usia muda, keterampilan teknologi, dan dedikasi tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pendidikan lebih memprioritaskan aspek-aspek tertentu daripada kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Penting untuk diingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang nilai-nilai, etika, dan kepedulian terhadap siswa. Menjadi catatan penting terhadap matinya adagium Ing Ngarso sung Tulodho.
BACA JUGA: Aspirasi Siapkan 11 Tuntutan untuk May Day, Soroti Pekerja Digital hingga Eksploitasi Gen Z
Yang ketiga, dan mungkin yang paling menonjol, adalah perubahan perilaku dan sikap pendidik yang menjadi lebih arogan dan tidak responsif terhadap kebutuhan terdidik.
Pendidik seharusnya menjadi teladan bagi siswa, baik dalam sikap, tindakan, maupun keputusan. Namun, jika mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi dan tidak memperhatikan aspirasi mereka, ini bisa menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam lingkungan pendidikan.
Kesemuanya ini menekankan perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya etika dan integritas dalam manajemen pendidikan.
BACA JUGA: Regulasi Baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Dampak Efisiensi Anggaran?
Etika dan integritas menjadi fondasi utama dalam menciptakan manajemen pendidikan yang adil dan manusiawi.-Odua Images-
Pendidik harus dihormati, diberdayakan, dan dianggap sebagai mitra dalam proses pendidikan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Ini membutuhkan budaya organisasi yang inklusif, transparan, dan berorientasi pada keadilan, di mana peran dan kontribusi setiap anggota komunitas pendidikan dihargai dan dihormati.
Garis merah antara perayaan Hari Buruh dan Hari Pendidikan mengungkap sebuah paradoks yang menarik. Di satu sisi, ada upaya untuk merayakan kontribusi dan perjuangan pekerja dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
BACA JUGA: Gotong Royong dalam Pendidikan
Namun, di sisi lain, terdapat ironi di mana banyak dari mereka yang setia dan berdedikasi terhadap organisasi sering tidak mendapatkan apresiasi yang sepadan.
Ketika anggota tim memiliki keberanian untuk menyuarakan ide kritis atau membagikan kekhawatiran yang membangun, mereka sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak manajemen.
Sebagai hasilnya, aspirasi dan masukan yang seharusnya bernilai untuk perbaikan organisasi sering kali diabaikan, meninggalkan karyawan merasa tidak dihargai dan tidak terdengar.
BACA JUGA: Pendidikan Indonesia dalam Krisis: Kenapa Bantuan Sosial Tak Lagi Cukup?