Jelang Konklaf: Antara Polarisasi Gereja dan Krisis Iman

Selasa 06-05-2025,17:57 WIB
Reporter : Doan Widhiandono
Editor : Noor Arief Prasetyo

Di balik aura sakral konklaf yang dimulai 7 Mei 2025, Gereja Katolik berada dalam posisi rentan. Skandal pelecehan seksual belum usai. Keuangan Vatikan tengah bermasalah. Dan lebih dari itu, dunia Katolik sendiri terpecah dalam polarisasi tajam antara harapan akan pembaruan dan nostalgia pada keutuhan doktrinal masa lalu.

“KATOLIK saat ini sedang mengalami berbagai polarisasi. Jadi saya tidak membayangkan konklaf ini akan berlangsung sangat cepat,” ujar Roberto Regoli, profesor Sejarah Gereja di Universitas Gregoriana, Roma.

Meski banyak berharap prosesnya bisa berlangsung dalam dua atau tiga hari seperti pemilihan Fransiskus, nuansa perubahan tampaknya membuat segalanya lebih kompleks.

Tak hanya krisis eksternal, perpecahan internal juga jadi pekerjaan rumah bagi paus selanjutnya. Paus Fransiskus, meskipun dihormati karena keberpihakannya pada kaum miskin dan terpinggirkan, dikritik sebagian kelompok konservatif karena dianggap “mengendurkan” ortodoksi Gereja.

BACA JUGA:Vatikan Putus Sinyal Telepon di Seluruh Wilayah Selama Konklaf Berlangsung

BACA JUGA:Jelang Konklaf: Arahkan Gereja di Persimpangan Zaman

Beberapa pembaharuannya, misalnya termasuk pembukaan ruang dialog terhadap LGBT, peran awam, dan relasi antaragama, mengundang resistansi. Terutama dari kalangan gereja-gereja lokal di Afrika dan Amerika Utara.

Dalam pertemuan para kardinal menjelang konklaf, muncul juga refleksi jujur tentang tantangan internal. “Kami mendengar orang-orang yang sebelumnya belum pernah kami dengar. Dan itu membimbing kami,” ungkap Cristóbal López Romero, Kardinal Rabat, Maroko, yang dikutip Agence France-Presse.

Sementara seorang kardinal Eropa menyatakan, “Ketika orang Afrika atau Amerika Selatan berbicara, mereka berasal dari dunia yang berbeda. Bukan saling bertentangan, tapi kita jelas punya prioritas yang tak sama.”


PARA KARDINAL mengikuti misa di Basilika Santo Petrus, Vatikan, 4 Mei 2025.-ALBERTO PIZZIOLI-AFP-

Di saat yang sama, lembaga gereja menghadapi krisis legitimasi moral. Laporan dari SNAP menyebut bahwa meski Paus Fransiskus telah melangkah maju dalam reformasi penanganan pelecehan seksual, Vatikan masih menahan dokumen-dokumen penting. Juga belum menunjukkan transparansi penuh.

Ajaran Vos Estis Lux Mundi yang dirilis pada 2019 dinilai “setengah hati” karena tidak mewajibkan pelaporan ke otoritas sipil dan tidak membuka akses publik.

Anne Barrett Doyle, dari BishopAccountability.org, kembali mengingatkan: “Yang kita butuhkan dari paus berikutnya bukan sekadar retorika. Tapi tindakan nyata.” Anda sudah tahu, dia menuntut dikeluarkannya hukum universal yang mencabut semua rohaniwan pelaku pelecehan dari pelayanan publik dan publikasi daftar lengkap nama-nama pelaku yang telah divonis bersalah.

BACA JUGA:Para Kardinal dari Seluruh Dunia, Termasuk Kardinal Suharyo, Tiba di Roma untuk Mengikuti Konklaf 2025

BACA JUGA:Sejarah Pemilihan Paus: Konklaf Terlama, Tertua, hingga yang Tercepat

Kategori :