Kurikulum Berbasis AI, Disparitas Sosial, dan Dinamika Aktor-Jaringan

Rabu 14-05-2025,08:33 WIB
Oleh: Rafi Aufa Mawardi*

PERKEMBANGAN kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) memberikan implikasi yang signifikan terhadap dimensi sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Peluang itu dilihat pemerintah sebagai variabel untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam institusi pendidikan.

Hal itu disampaikan Gibran Rakabuming Raka selaku wakil presiden RI dalam kunjungannya di Binus University, BSD, Tangerang Selatan pada Jumat, 2 Mei 2025, di depan mahasiswa. Gibran menyampaikan bahwa materi terkait AI akan diakomodasi di dalam kurikulum pendidikan di level SD, SMP, SMA, dan SMK pada tahun ajaran yang akan datang.

Gibran menjadi salah seorang tokoh publik yang masif dalam mendorong AI diterapkan di institusi pendidikan. Bahkan, Gibran mengutarakan bahwa AI tidak akan menggantikan tugas dari manusia, tetapi membantu meningkatkan produktivitas dan kreativitas manusia. Walaupun begitu, upaya itu menghasilkan kritik di dalam diskursus publik.

BACA JUGA:Darurat Kurikulum Keluarga

BACA JUGA:Strategi Pembelajaran Berdeferensiasi pada Kurikulum Merdeka

Umumnya, kritik dari publik dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa problematika dalam institusi pendidikan bersifat kompleks dan fundamental. Menerapkan AI sebagai basis substansial dalam kurikulum dapat menjadi bumerang yang akan memperparah kondisi pendidikan.

PENDIDIKAN DAN DISPARITAS SOSIAL

Mewujudkan pendidikan yang berkualitas harus dimulai dari membuka pintu aksesibilitas bagi seluruh siswa untuk dapat bersekolah secara layak. Dengan kata lain, tidak boleh ada anak-anak Indonesia yang tertinggal oleh sistem pendidikan dengan menempatkannya pada jurang disparitas sosial.

Disparitas sosial dalam sistem pendidikan mencerminkan kesenjangan dan ketidakseimbangan pada proporsi infrastruktur maupun suprastruktur pendidikan. Misalnya, jumlah sekolah di kota dan di desa yang berbeda secara signifikan, kualitas guru dan sistem pembelajaran di sekolah yang rendah, dan aksesibilitas internet yang tidak merata.

BACA JUGA:Menteri Ungkap Kurikulum Cinta untuk Redam Doktrin Kebencian dalam Pendidikan Agama

BACA JUGA:Menag Minta Ekoteologi dan Pelestarian Alam Masuk Kurikulum Pendidikan Agama

Annette Lareau dalam buku Unequal Childhoods: Class, Race, and Family Life (2011) menjelaskan bahwa kelas sosial memengaruhi praktik pembelajaran dan hasil pendidikan di level teknis. Dengan kata lain, disparitas sosial yang tajam diakibatkan sistem pendidikan yang tidak inklusif dan cenderung akomodatif pada kelas sosial tertentu.

Menurut data dari Unicef, terdapat 4,1 hingga 4,3 juta anak dan remaja di Indonesia yang tidak bersekolah. Selain itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengungkapkan bahwa 10 ribu sekolah di daerah 3T mengalami kerusakan yang parah.

Data di atas menggambarkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia masih mengalami permasalahan pada konteks yang fundamental, yaitu disparitas sosial. Disparitas sosial dalam dimensi pendidikan mencerminkan ketimpangan aksesibilitas pendidikan bagi siswa hingga kesenjangan infrastruktur yang ekstrem.

BACA JUGA:Kurikulum dan Fenomena Pelajar Masa Kini, Transisi Belum Efektif

Kategori :