Darurat Kurikulum Keluarga

Darurat Kurikulum Keluarga

Ilusttrasi kenakalan remaja.--

ADA berbagai persoalan yang mengancam masa depan generasi remaja Indoensia saat ini. Degradasi moral, etika, dan budi pekerti adalah fenomena yang marak terjadi di kalangan pelajar. Dari berbagai persoalan tersebut, paling tidak ada dua persoalan serius yang mengancam. Yaitu pergaulan bebas (pornografi-pornoaksi), dan narkoba

Keduanya mengancam remaja lantaran daya rusaknya yang mengakar. Lebih jauh lagi, membahayakan negeri ini, lantaran rentan menghilangkan karakter asli bangsa di masa depan, pasalnya remaja adalah pelaku dan pengurus negeri ini kelak. Selain itu, tak sedikit anggaran negara tersedot untuk membiayai penanggulangan dua  problem akut tersebut.

Soal pergaulan, dalam skala nasional, Komisi Nasional Perlindungan Anak pernah melakukan survei yang melibatkan 4500 remaja sebagai responden. Hasilnya pasti membuat orang tua miris dan ketar-ketir. Bagaimana tidak, 93,7% responden mengaku pernah berciuman hingga petting, sebanyak 32% responden berusia 14-18 tahun mengaku pernah berhubungan seks, serta 21,2% responden putri pernah melakukan aborsi  (Jawa Pos, 8 Oktober 2012). 

Tingkat sadisme dan seks bebas di kalangan remaja Indonesia kian memprihatinkan. Hal ini ditandai  semakin  tingginya angka pembuangan bayi di jalanan. Sepanjang Januari 2018 ada 54 kasus. Pelaku umumnya wanita muda berusia antara 15 hingga 21 tahun. Angka ini mengalami kenaikan dua kali lipat (100 persen lebih) jika dibandingkan dalam periode yang sama pada Januari 2017 yang hanya ada 26 kasus pembuangan bayi,” (hidayatullah.com, 31/01/2018).

BACA JUGA:Kenakalan Remaja di Surabaya, Psikolog: Ada Target Psikologis yang Dicari

BACA JUGA:BNN Bongkar 5 Penyalahgunaan Narkoba, Ada Pengiriman Sabu-Sabu Berskala Internasional

Sementara dalam skala lokal, pada akhir tahun 2012, Hotline Pendidikan bekerjasama dengan Yayasan Embun Surabaya (YES), Telpon Sahabat Anak (TESA), dan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur (Jatim) melansir hasil survei perilaku “pacaran” 450 pelajar putra/i tingkat SMA di Surabaya.  Kesimpulannya, 44% pelajar berpandangan bahwa melakukan hubungan seks dibolehkan selama masa pacaran. Bahkan 16% pelajar mengaku pernah melakukan hubungan seks. 

Menurut Indonesia Police Watch (IPW) yang dilansir situs hidayatullah.com, Jawa Timur menempati posisi tertinggi dalam kasus pembuangan bayi di Januari 2018, dengan 15 kali kejadian. Pada bulan yang sama tahun 2017 lalu, Jatim juga menempati peringkat pertama dengan 9 kasus. Sidoarjo sebagai kabupaten terbanyak kasus pembuangan bayi di Januari 2018. Na’udzubillah. 

Setahun sebelumnya, lembaga-lembaga tersebut juga melempar hasil survei dalam topik yang sama terhadap 616 pelajar SMP Surabaya. Survei itu mengungkap, 14% pelajar SMP di Kota Pahlawan tersebut ternyata pernah melakukan hubungan seks. Sedangkan 31% lainnya mengaku “gaya pacaran” mereka telah menjurus pada hal yang menyebabkan terjadinya hubungan seks bebas. 

Adapun ancaman kedua adalah bahaya narkoba. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5 juta orang, 600.000 hingga 1,2 juta penggunanya ada di Jakarta dan 78% dari jumlah tersebut adalah remaja (Kompas.com, 24/7/2017).  

BACA JUGA:Polisi Segel Rumah di Kertajaya Indah Timur, Diduga Jadi Pabrik Produksi Narkoba

BACA JUGA:Modus Baru Penyelundupan Narkoba dalam Kaleng Susu

Secara normatif, remaja adalah aset negara yang paling berharga. Mereka lah pengelola negara masa depan. Jika masa remaja mereka dipenuhi dengan “penyakit-penyakit” tersebut, kelak masa dewasanya hanya dipenuhi dengan usaha penyembuhan diri sendiri, sehingga mengabaikan kontribusinya terhadap negara.

Bicara dalam konteks pendidikan, lalu perlukah kurikulum yang memuat pelajaran anti pergaulan bebas, atau antinarkoba? Tentu tidak demikian, karena jika itu dilakukan, bisa dibayangkan mata pelajaran akan berjejalan sedemikian rupa dalam otak pelajar yang belum tentu sanggup ditampung. Alih-alih menjadi solusi, pelajar justru rentan stres akibat tumpukan pelajaran dan akhirnya malah mencari pelepasan kepenatan melalui aksi-aksi negatif. Lantas apakah kontribusi dunia pendidikan dalam membentengi generasi kita dari “virus-virus” tersebut ? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: