Darurat Kurikulum Keluarga

Darurat Kurikulum Keluarga

Ilusttrasi kenakalan remaja.--

Mengimunisasi dengan Kurikulum Keluarga 

Tidak ada jalan lain, solusi “JITU” yang diberikan untuk memberikan “imunitas” atau daya kebal kepada generasi masa depan Indonesia adalah melalui penguatan pendidikan karakter. Tetapi, menyerahkan penanggulangan virus penyakit tersebut melalui pendidikan karakter sepenuhnya hanya kepada dunia pendidikan formal tampaknya amat sangat naif. Pasalnya hal itu sama saja dengan menyalahkan sistem pendidikan nasional atas merebaknya penyakit tersebut. 

Padahal dari sisi mata pelajaran, sejak dulu kita sudah disajikan pendidikan moral dan sekaligus pendidikan agama. Namun generasi remaja kita memang tak memiliki “daya kebal” yang tangguh atas penularan virus-virus amoral yang disebarkan oleh beragam media, terutama internet. 

BACA JUGA:Fredy Pratama Gembong Narkoba Internasional Dilindungi Gangster

BACA JUGA:Ada Pabrik Narkoba Dikelola WNA di Bali

Ada banyak faktor pemicu mengapa pelajar bisa terjerumus dalam perilaku-perilaku amoral. Hal ini sebenarnya menjadi salah satu bukti nyata masih adanya celah cu¬¬kup lebar di antara sekolah dengan keluarga serta masya¬rakat yang memungkin¬kan terjadinya perilaku-perilaku menyim¬pang dan tidak berlandaskan pada pendidi¬kan karakter tersebut.

Dalam tri pusat pendidikan, keluarga adalah pusat pendidikan dan fondasi pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan. Fondasi merupakan bagian utama yang harus dibuat ketika kita akan mendirikan sebuah bangunan.  Suatu bangunan dapat berdiri tegak apabila memiliki fondasi yang kuat, tanpa fondasi yang kuat, tentu keseluruhan bangunan akan mudah goyah, bahkan roboh dan hancur. Undang-undang No 20 tahun 2003  tentang sistem pendidikan nasional, tidaklah identik dengan pendidikan formal  di sekolah-sekolah. Melainkan ada juga pendidikan informal dan pendidikan non formal (pasal 13 ayat 1). 

Sehingga kepedulian terhadap dunia pendidikan tidak seharusnya hanya terbatas pada pendidikan formal. Ditambah lagi, kajian studi bank dunia (2013)  menunjukkan bahwa keluarga memiliki peran kunci karena penanaman nilai-nilai pendidikan yang dilakukan keluarga telah berhasil meningkatkan pencapain perkembangan peserta didik sesuai dengan yang diharapkan. 

Oleh sebab itu, begitu pentingnya peran keluarga dalam dunia pendidikan, sekolah lebih-lebih pemerintah harus hadir guna memperkuat dalam pengembangan dan penyebaran ilmu pendidikan bagi orang tua dan keluarga, agar dapat menjalin sinergi dan terbentuknya integrasi kurikulum pendidikan keluarga dengan baik.

BACA JUGA:Mengenal Liquid Ganja, Jenis Narkoba yang Digunakan Chandrika Chika Cs

BACA JUGA:Geger Home Industry Narkoba di Malang

Di sinilah pola asuh orang tua dan sekaligus dukungan pemerintah sangatlah penting untuk “EMPOWERING”  kurikulum keluarga. Inilah yang akan melahirkan  “Guru Keluarga” untuk mengantarkan generasi Indonesia yang memiliki “kekebalan”.  Dengan daya “imunitas” yang terpatri dalam diri, seberapa pun kuatnya arus penularan virus amoral, karakter asli remaja tak tergoyahkan.     

Cinta kasih tanpa batas dari orang tua adalah keniscayaan untuk membekali karakter diri anak-anak bangsa masa depan. Komunikasi yang dialogis, bukan instruktif apalagi menghakimi, antara orang tua dengan anak, membuat anak tidak perlu mencari tempat curhat atas segala masalahnya. Termasuk persoalan seksual yang selama ini dianggap tabu. Maka semua orang tua wajib berusaha menjadi konsultan bagi buah hatinya, bukan hakim. Apalagi hanya sekedar sebagai “mesin ATM” semata yang tugasnya hanya memberi uang.

Orang Tua =  Guru Keluarga

Semua “penyakit” di atas memang tak bisa didekati secara hitam putih, dengan kaca mata dosa dan neraka. Bagi saya, memutar “rantai” pendidikan, dengan memberdayakan “guru keluarga” adalah salah satu ikhtiar memperbaiki mutu produk pendidikan karakter guna membentengi dari virus penyakit di atas. Faktor lain yang tidak kalah penting tentu adalah kualitas guru di semua lini pendidikan formal dari tingkat pra sekolah (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) harus benar-benar dapat dipastikan bahwa mereka adalah “pendidik” yang harus konsen terhadap penanaman nilai-nilai karakter anak didik. Lazimnya seorang guru mereka harus mencurahkan segenap energinya untuk memberikan “pendidikan” - bukan sekadar pengajaran – kepada calon-calon pemimpin bangsa. Di sinilah diperlukan terobosan pemerintah untuk memastikan kebijakan kurikulum telah mengarah kepada isu diatas, sekaligus memastikan kesejahteraan guru telah layak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: