Masa Depan Media Massa Indonesia: Dari Krisis Menuju Transformasi

Rabu 28-05-2025,13:26 WIB
Oleh: Siti H.Z.R.-I.G.A.K. Satrya W.

INDUSTRI media massa Indonesia tengah berdiri di tepi jurang yang rawan. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Bagaimana seharusnya kita menata ulang masa depan media di negeri ini?

Gelombang krisis yang melanda dunia jurnalistik bukan isapan jempol. Dalam kurun dua tahun terakhir, ribuan jurnalis di Indonesia kehilangan pekerjaan. Karena itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 pada 3 Mei lalu diwarnai fakta yang tidak mengenakkan bagi industri pers di Indonesia. 

Satu demi satu media cetak menghentikan operasionalnya, jurnalis mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja, dan kepercayaan publik terhadap institusi media pun perlahan terkikis. 

BACA JUGA:Rancangan Perpres Hak Penerbit: Payung Hukum Jurnalisme dan Industri Media Massa

BACA JUGA:Anugerah Patriot Jawi Wetan II 2024: Tips dan Trik Menembus Media Massa

Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Pers mencatat, lebih dari 1.200 pekerja media terkena PHK hanya dalam periode 2023 hingga awal 2025. Media-media besar seperti Kompas TV, CNN Indonesia TV, dan grup Emtek melakukan efisiensi dengan memangkas ratusan posisi karena tekanan ekonomi dan pergeseran perilaku audiens yang masif ke digital. 

Sementara itu, harian legendaris seperti Republika menghentikan edisi cetaknya pada akhir 2022, menyusul tabloid Bola dan Harian Bernas yang lebih dulu tutup buku. Media cetak, yang dahulu menjadi jantung informasi publik, kini satu per satu kehilangan denyutnya. 

Industri media massa Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menjaga keberlanjutan finansial. Itu ditandai dengan penurunan tajam jumlah pengunjung media daring dan merosotnya pendapatan, yang mendorong banyak perusahaan mengurangi jumlah jurnalis di tengah disrupsi digital yang telah mengubah lanskap pers global dalam 10–15 tahun terakhir (Antara, 28 Agustus 2024). 

BACA JUGA:Sukseskan PON XXI, Pj Gubernur Aceh Ikuti Saran Mendagri untuk Posisikan Media Massa sebagai Dukungan Penting

BACA JUGA:Hari Pers Nasional, DPRD Kota Pasuruan Berkomitmen untuk Bersinergi dengan Media Massa

Dewan pers mengungkapkan bahwa belanja iklan media di Indonesia pada 2023 mencapai Rp 68 triliun, tapi sebagian besar dialokasikan ke platform digital global, bukan ke media lokal. Perlu diversifikasi: langganan digital, program donasi dari pembaca loyal, kemitraan dengan lembaga riset, hingga monetisasi konten berbasis komunitas. 

Di sisi lain, kemitraan dengan platform digital harus dibangun berdasar prinsip keadilan –termasuk soal bagi hasil konten dan algoritma yang tidak mematikan jurnalisme. Namun, krisis itu tak berdiri sendiri. Ia diperparah oleh kenyataan pahit: rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. 

Berdasar data UNESCO, tingkat minat baca kita hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang benar-benar berminat membaca. Meski indeks tingkat gemar membaca (TGM) nasional naik menjadi 72,44 pada 2024 menurut Perpustakaan Nasional, tantangan literasi kita tetap besar. Di negeri ketika membaca dianggap beban, media cetak jelas berada di titik nadir.

UNESCO, sebagai lembaga dunia yang konsisten membela kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, memandang media sebagai pilar esensial dalam menjaga keberlangsungan demokrasi. 

Dalam laporan Journalism is a Public Good: World Trends in Freedom of Expression and Media Development – Global Report 2021/2022, UNESCO menegaskan bahwa media yang bebas, independen, dan pluralistis merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya masyarakat terbuka. 

Kategori :