Menyambut Hari Jadi ke-732 tahun Kota Surabaya, para seniman memunculkan apresiasi mereka. Terkait ekosistem seni, geliat kolaboratif, dan lain-lain. Mereka pun menaruh harapan besar terhadap Hari Jadi Kota Surabaya dan eksistensi para senimannya.
Pada usia Surabaya yang ke-729 tahun, muncul pertanyaan besar: masihkah kota ini ramah bagi seniman?
Surabaya memang masih semarak dengan parade seni, pertunjukan teatrikal, hingga festival budaya. Selalu meriah dan ramai. Tapi apakah cukup?
BACA JUGA:Ndarboy Genk tampil dalam Malam Puncak Hari Jadi Kota Surabaya
Sejumlah penari Bujang Ganong menghibur warga yang berkunjung di halaman Balai Pemuda Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 22 Mei 2022.-Julian Romadhon-
Bagi Meimura, pegiat ludruk senior, itu belum menjawab akar persoalan. “Seniman Surabaya minim ruang berekspresi. Dulu kami punya kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR) sebagai pusat kegiatan. Tapi akhirnya digusur,” ujarnya.
Tahun 2018 menjadi salah satu masa keemasan ludruk Surabaya. Lewat gedung itu, pertunjukan digelar rutin tiap akhir pekan. Tak sekadar melestarikan, tapi melahirkan banyak seniman ludruk baru. Judul baru pun bermunculan.
Kini, memang masih ada parade seni. Bahkan sering kali tampak mewah. Namun, menurut Meimura, itu hanya sentuhan permukaan. “Kegiatan seperti itu hanya melibatkan seniman tertentu. Padahal ekosistem seni tumbuh bukan hanya dari panggung sehari. Tapi dari proses. Dari ruang diskusi yang hidup,” katanya.
BACA JUGA:Surabaya Tourism Award Diserahkan Wali Kota Eri Cahyadi pada Puncak Hari Jadi Kota Surabaya
Ekspresi Meimura saat berteater. Sekali waktu ia menjadi tokoh utama besutan. Yakni seseorang yang berpakaian serba putih dengan peci berujung bundar berwarna merah.--
Ia juga menyayangkan makin jauhnya relasi antar-seniman. Banyak yang kini menetap di “kantor” masing-masing. Sporadis. Sukar untuk berkolaborasi. “Sanggar-sanggar seni kampung juga makin sulit terlihat. Mereka terbatas akses dan panggung. Padahal dari situ lahir nama-nama besar di masa lalu,” tambahnya.
Ia masih ingat bagaimana Balai Pemuda dulu menjadi titik temu. Seniman lintas genre berkumpul, bertukar ide, mengadu gagasan. Tak jarang bermalam, hanya demi diskusi. "Pemerintah waktu itu juga hadir. Ada tunjangan bulanan untuk seniman. Sanggar difasilitasi sesuai kebutuhan,” kenang pria 63 tahun itu.
Tapi itu cerita lama. Kini tinggal bayang-bayang. Meimura pun berharap Pemerintah dapat membuat program dengan melibatkan seniman. Sehingga ruang pentas yang ada dapat sekaligus menampung kegelisahan berkesenian seniman tersebut.
BACA JUGA:Babak Baru Pelurusan Sejarah Hari Jadi Kota Surabaya, Ketua DPRD Terima Usulan Begandring
Heri Lentho, budayawan Surabaya, menyuarakan hal serupa. Menurutnya, pemerintah seharusnya tak menjadi sekadar penyelenggara acara. Tapi harus menjadi fasilitator yang merangkul semua unsur.
“Ekosistem itu sehat kalau ada skema: pemerintah sebagai penyedia sarana, dewan kesenian sebagai pengawas, dan seniman sebagai penggerak,” katanya.