Pancasila di Reruntuhan Demokrasi

Kamis 05-06-2025,06:14 WIB
Oleh: Aam Waro’ Panotogomo*

BACA JUGA:Rektor Universitas Pancasila Dipolisikan Karyawati

Demokrasi hari ini tidak lagi berakar pada suara rakyat, tetapi pada manuver elite politik dan ekonomi yang menguasai panggung kekuasaan. 

Proses demokrasi yang seharusnya melibatkan partisipasi luas masyarakat telah direduksi menjadi kompetisi modal dan logistik. 

Pemilu menjadi kontestasi popularitas semu, bukan pertarungan ide dan gagasan kebangsaan.

Lebih jauh lagi, kekuasaan tidak segan menekan oposisi, mengekang kritik, dan membungkam suara-suara yang berbeda dengan berbagai dalih: stabilitas nasional, persatuan, bahkan atas nama Pancasila itu sendiri. 

BACA JUGA:Lahirnya Pancasila

BACA JUGA:Prabowo dalam Pidato Hari Pancasila: Pihak Asing Biayai LSM untuk Adu Domba Bangsa Indonesia

Ironisnya, Pancasila yang dahulu menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kini justru sering digunakan sebagai alat penertiban dan penyeragaman. 

Nilai-nilai luhur seperti kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi deliberatif dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek para penguasa. Bukannya menjadi ideologi pembebas, Pancasila berubah menjadi tameng kekuasaan.

Ketimpangan sosial makin lebar. Sumber daya negara yang semestinya dikelola untuk kesejahteraan rakyat justru dinikmati segelintir kalangan. Petani kehilangan tanahnya, buruh kehilangan perlindungan, masyarakat adat terpinggirkan, dan pendidikan berkualitas masih menjadi kemewahan. 

BACA JUGA:Hari Lahir Pancasila 1 Juni, Sejarah dan Maknanya bagi Bangsa Indonesia

BACA JUGA:Prof Mas'ud Said: Jawa Timur Siap Jadi Kekuatan Besar Penggerak Nilai-Nilai Pancasila

Dalam kondisi seperti itu, sila kelima ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” terasa seperti slogan kosong yang tak menyentuh realitas. 

Sementara itu, sila keempat tentang ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” hanya tersisa dalam teks, tak tecermin dalam praktik parlemen yang lebih sering menjadi ruang kompromi kepentingan sempit.

Ketika masyarakat marah atau kecewa, negara justru membalas dengan represi. Aparat dijadikan alat stabilitas, bukan perlindungan warga. Kritik disebut ujaran kebencian. 

Organisasi sipil yang menyuarakan keadilan disusupi dan dilumpuhkan. Di sisi lain, kelompok ekstrem yang menyebarkan intoleransi justru dibiarkan tumbuh jika sejalan dengan kekuasaan. 

Kategori :