Ia juga menyebut adanya bukti transaksi lain yang menurutnya tak berkaitan langsung dengan kliennya.
“Transaksi yang mereka lakukan ini ada proses jual beli, yang jadi sehingga kalau lihat dari transaksi enggak ada kaitannya dengan pak Novanto, tetapi ini dianggap terbukti,” ucap dia.
BACA JUGA:KPK Periksa Mantan Anggota DPR Teguh Juwarno Terkait Kasus Korupsi E-KTP
BACA JUGA:H-1 Coblosan, Dispendukcapil Surabaya Targetkan Ribuan Pemilih Pemula Sudah Terekam e-KTP
Namun, pernyataan tersebut mendapat tanggapan dari akademisi hukum pidana dan perdata Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yang mengingatkan bahwa fakta di persidangan Indonesia harus menjadi rujukan utama.
"Tetapi apa kaitannya dengan fakta persidangan setnov di Indonesia. Jika hanya sekedar pernyataan tanpa ada pemeriksaan di pengadilan itu drajatnya sama dengan pemberitaan di media media bebas yang sangat mungkin itu juga berita hoax," ujar Abdul Fickar saat dihubungi disway.id pada Jumat, 4 Juli 2025.
Ia menegaskan, tidak seharusnya ada alasan keringanan bagi tindakan pidana yang dilakukan secara sadar.
"Artinya sepanjang fakta persidangan di Indonesia tidak bisa dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan," pungkasnya.
Diketahui bahwa PK Setya Novanto diputus pada Rabu, 4 Juni 2025, dengan hasil memotong hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun enam bulan serta menetapkan denda dan uang pengganti dengan sisa Rp49 miliar subsidair dua tahun penjara. Ia juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 2 tahun 6 bulan usai menjalani masa hukuman. (*)