SURABAYA, HARIAN DISWAY- Angka kekerasan anak di Jawa Timur masih tinggi. Tercatat ada 1.578 kasus kekerasan anak di Jatim yang terjadi selama Januari-Juli 2025.
Angka kasus itu berdasarkan laporan yang masuk di SIMFONI milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Dari data itu, Jawa Timur menempati posisi kedua dalam laporan kekerasan anak secara nasional.
Di Jawa Timur, Kabupaten Tuban menjadi yang tertinggi dengan 106 kasus. Di susul Kota Malang dengan 104 kasus dan Kota Surabaya dengan 96 kasus.
Kekerasan seksual menjadi laporan terbanyak dengan 654 kejadian. Sementara kekerasan fisik masuk urutan kedua dengan 566 kejadian dan kekerasan psikis sebanyak 408 kejadian.
BACA JUGA:Kasus Kekerasan Anak Disabilitas di Surabaya, DPRD Soroti Pentingnya Edukasi Orang Tua
BACA JUGA:Kasus Kekerasan Anak Anggota DPR, Ronald Tannur: Diduga Ada Kelalaian Petugas Sekuriti Lenmarc Mall
Ketua Bidang Data, Komunikasi, dan Litbang Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur (LPA Jatim) Isa Anshori mengatakan kekerasan seksual pada anak umumnya dilakukan oleh orang terdekat. "Utamanya keluarga, teman, atau lingkungan tempat anak beraktivitas," katanya, Kamis 31 Juli 2025.
Data menunjukkan kekerasan anak terjadi paling tinggi ada di lingkungan rumah dengan 991 kejadian. Di susul sekolah dengan 94 kejadian.
Isa menyebut, kurangnya pengawasan keluarga berdampak pada perkembangan anak. Isa menyebut, banyak anak hidup dengan kondisi keluarga tak ideal sehingga mengurangi proses pengawasan.
"Misalnya anak dititipkan kepada nenek. Ibunya bekerja di luar negeri," katanya. Akibatnya pengawasan menjadi kurang.
Mereka kemudian berinteraksi dengan lingkungan yang tak mendukung dan mendampak pada kekerasan pada dirinya. "Mereka akhirnya menjadi korban dari tetangga, teman, bahkan keluarga sendiri," katanya.
Akses anak kepada dunia luar kini juga makin tanpa batas. Akibat tingginya pengaruh gawai pada anak. "Yang akibatnya mereka mudah mengakses informasi buruk, termasuk pornografi," paparnya.
Tak hanya itu, kekerasan anak juga terjadi di lingkungan sekolah. Yang diakibatkan oleh rekan sebaya anak maupun oleh guru sendiri.
Untuk faktor guru, Isa melihat, masih banyak guru yang tak bisa membedakan antara tegas dan keras dalam mendidik anak di sekolah. "Sehingga seringkali guru melalukan kekerasan fisik mendisplinkan anak," terangnya.(*)