BACA JUGA:Mencermati Vonis Ringan Hukuman Korupsi Timah, Dibutuhkan Hakim 'Gila' untuk Kasus Korupsi
Begitu pagar itu diterobos, yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
MENUTUP CELAH
Kalau kita serius mau menutup celah antara diskresi dan korupsi, ada tiga hal yang wajib dilakukan.
Pertama, lakukan justifikasi tertulis, dengan mewajibkan setiap kebijakan berbasis diskresi harus disertai kajian hukum dan manfaat publik.
Kedua, lakukan pengawasan sejak dini. DPR, BPK, bahkan publik, harus diberi akses untuk bisa melakukan pengawasan sebelum kebijakan dijalankan.
BACA JUGA:Tersangka Korupsi Jalan Tertatih
BACA JUGA:Pilkada Serentak dan Pemberantasan Korupsi
Ketiga, publikasikan alasan mengapa diskresi diperlukan. Hal itu dilakukan agar rakyat bisa mengawasi dan pejabat berpikir dua kali sebelum bermain-main. Dan, itu tentu dimaksudkan untuk upaya preventif.
Diskresi memang penting. Tanpa diskresi, birokrasi bisa mandek. Tapi, kalau dipakai untuk memotong jalan seenaknya, diskresi bisa berubah menjadi tiket VIP menuju korupsi. Maka, jangan biarkan istilah yang lahir untuk melayani rakyat malah dipakai untuk mengkhianati rakyat.
ANALISIS KASUS: PEMBAGIAN KUOTA TAMBAHAN HAJI 2024
Kasus pembagian kuota tambahan haji tahun 2024 menjadi ilustrasi konkret bagaimana sebuah kebijakan yang diklaim sebagai diskresi justru berpotensi menabrak pagar hukum yang jelas.
BACA JUGA:Korupsi sebagai Problem Budaya
BACA JUGA:Capres Bervisi Memberantas Korupsi
Berdasar Pasal 64 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota haji diatur tegas: 92 persen untuk jamaah haji reguler dan 8 persen untuk jamaah haji khusus.
Aturan itu adalah hasil kompromi hukum yang melibatkan keadilan akses, asas proporsionalitas, dan kepentingan mayoritas jamaah.