Namun, kebijakan Kementerian Agama untuk membagi kuota tambahan secara 50:50 antara reguler dan khusus, dengan alasan keterbatasan tenda di Mina, menimbulkan pertanyaan serius.
Jika benar ada faktor teknis yang memaksa perubahan proporsi, Pasal 24 UU Nomor 30 Tahun 2014 mensyaratkan bahwa diskresi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan harus memenuhi asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas keterbukaan dan akuntabilitas.
Masalahnya, hingga kebijakan itu berjalan, publik tidak mendapatkan dokumen kajian tertulis yang mendasari alasan teknis tersebut. Tidak ada bukti bahwa ada konsultasi publik atau persetujuan legislatif sebelum keputusan diambil.
Ketiadaan proses itu menguatkan kecurigaan bahwa dalih diskresi digunakan untuk mengubah alokasi demi keuntungan pihak tertentu.
POTENSI NILAI EKONOMI DAN MOTIF
KPK mengeklaim menemukan bukti perusahaan travel penyedia layanan haji khusus menyetorkan uang sebesar USD2.600 hingga USD7.000 per jamaah kepada asosiasi untuk mendapatkan jatah kuota haji tambahan.
Besaran setoran bervariasi, bergantung ukuran perusahaan dan paket layanan (pernyataan Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu, 14 Agustus 2025).
Jika dikonversi, nilainya Rp42–113 juta per kuota (Tempo, 15 Agustus 2025; detik.com, 16 Agustus 2025; Kumparan, 14 Agustus 2025).
Maka, inilah yang membuat aroma kepentingan ekonomi begitu menyengat, sebuah skema yang bisa mengubah diskresi menjadi ”diskresi beraroma uang”.
DISKRESI ATAU ABUSE OF POWER?
Mengacu pada formula Klitgaard bahwa korupsi adalah monopoli plus diskresi ninus akuntabilitas (korupsi = monopoli + diskresi – akuntabilitas), maka situasi ini memenuhi semua unsur.
Unsur monopoli dapat dilihat betapa memang pemerintah memegang kendali penuh atas distribusi kuota haji. Unsur diskresi dapat dilihat dari adanya keputusan mengubah proporsi tanpa persetujuan legislatif.
Unsur minim akuntabilitas dapat dilihat dari tidak adanya transparansi proses dan justifikasi formal.
Jika ketiga unsur itu hadir, secara teori administrasi publik, kebijakan tersebut sudah berada di wilayah ”high risk for corruption” –terlepas dari niat awalnya.
PELAJARAN PENTING
Kasus ini memberikan pelajaran berharga: diskresi yang tidak diawasi ketat akan berubah menjadi alat legitimasi untuk kebijakan yang melanggar hukum dan merugikan publik.