Sebab itulah, Prabowo akhirnya lebih memilih Djamari Chaniago sebagai menko polkam ketimbang calon lainnya.
Prabowo masih diliputi romantisme dengan teman-teman lamanya. Ia tidak gampang percaya kepada orang baru. Karena itu, ia merasa lebih save dengan Djamari Chaniago.
BACA JUGA:In Group dan Out Group Kabinet Prabowo
BACA JUGA:Bisakah Prabowo Lepas dari Jokowi?
Jaringan dan kekuasaan adalah dua hal yang berhubungan erat. Yuval Noah Harari, dalam Nexus: A Brief History of Information Networks from Stone Age to AI (2024), menelaah dua hal itu sebagai jalinan yang saling memperkuat.
Kata Harari, sekarang ini orang makin pintar mengakumulasi kekuasaan, tetapi tidak pernah bisa bijaksana dalam mempergunakan kekuasaan. Kemampuan untuk mengakumulasi kekuasaan meningkat, tetapi kebijaksanaan dalam mengelolanya mengalami kemerosotan.
Mereka yang punya kekuasaan selalu melihat realitas dalam oposisi biner. Kawan atau lawan. Kamu ada di pihakku atau kamu menjadi musuhku.
Kalau ada protes terhadap kekuasaan, ia akan melihatnya sebagai ancaman. Ia akan melihat para pemrotes sebagai ancaman dan menyebutnya sebagai antek asing.
Realitas politik sudah sangat berubah, tetapi cara pandang Prabowo terhadap realitas itu tidak berubah. Ia nyaman bersama Djamari Chaniago karena merasa berada pada kolam yang sama. Ia melihat persoalan kontemporer dengan kacamata lama.
Prabowo adalah tipe pemimpin populis yang khas. Menurut Harari, ideologi populisme bersandar pada gagasan bahwa masyarakat pada dasarnya terbelah menjadi dua kelompok yang homogen dan antagonistik, antara rakyat yang murni versus elite yang korup. Retorika Prabowo ketika berpidato tidak pernah beranjak dari gagasan itu.
Harari mengutip kisah mengenai seorang guru sakti yang punya seorang cantrik. Ia mengajari sang cantrik berbagai mantra ilmu sihir. Salah satunya adalah mantra yang membuat sebuah sapu menjadi punya kekuatan supranatural yang hebat.
Suatu ketika sang guru pergi dan berpesan kepada sang murid untuk mengisi kolam mandi dengan air. Sang murid yang merasa santai memilih rebahan ketimbang mengisi kolam mandi dengan ember.
Ia mencoba mantra gurunya dan memerintah sapu sakti untuk mengambil air dari sungai. Sang sapu menjalankan perintah dengan taat. Tapi, ketika air sudah penuh, sang cantrik lupa cara menghentikannya. Air terus mengalir sampai banjir.
Sang cantrik yang panik kemudian mematahkan sapu itu. Bukannya berhenti, sapu malah berubah menjadi dua dan makin kencang mengalirkan air, sampai rumah tenggelam.
Prabowo ibarat cantrik yang menerima sapu dari Jokowi. Ia mengoperasikan sapu itu, tetapi tidak bisa menghentikannya. Ia berupaya merusak sapu itu untuk memutus legasi dengan gurunya.
Yang terjadi, rumah malah kebanjiran. Prabowo bisa tenggelam kalau tidak cepat menemukan mantra politik untuk menghentikan pengaruh gurunya. (*)