Misalnya, dekade 80-an bukan hanya tentang pita kaset ataupun lampu disko, dekade tersebut juga mencakup perubahan sosial dan politik yang signifikan.
Demikian pula, era awal 2000-an (Y2K) tidak hanya tentang baju berkilau dan drama serial TV komedi romantis seperti F.R.I.E.N.D.S, tetapi era tersebut juga ditandai dengan tahap awal perkembangan teknologi dan ketidakstabilan global.
Pandangan itu tanpa disadari dapat membuat kita mudah memuja masa lalu sambil mengabaikan kelemahannya. Namun, hal tersebut juga menyoroti keinginan manusia yang mendalam untuk mempertahankan hal-hal baik dan meninggalkan yang buruk.
Dalam hal ini, nostalgia yang dipinjam menjadi cara untuk memandang masa lalu sebagai sumber inspirasi, bukan sekadar sebuah beban (coping mechanism).
Seiring gen Z yang kini masif dan terus membentuk budaya, nostalgia yang dipinjam tidak akan pudar. Sebaliknya, ia mungkin akan berkembang seiring munculnya teknologi baru.
Namun, saat kita meminjam dari masa lalu untuk menciptakan makna di masa kini, patut dipertanyakan, bagaimana kita menghargai realitas era-era tersebut sambil tetap menghargai daya tarik estetika dan emosionalnya?
Mungkin jawabannya terletak pada keseimbangan –mengakui kompleksitas sejarah sambil memberi diri kita kebebasan kreatif untuk membayangkannya kembali.
Demikianlah sebuah ”keindahan” dari kenangan yang dipinjam. Ia memungkinkan kita untuk menggabungkan yang lama dengan yang baru, menciptakan narasi yang terasa unik dan khas bagi kita.
Di dunia yang sering terasa menakutkan, ada sesuatu yang menenangkan dalam meminjam dari masa lalu untuk menancapkan diri kita di masa kini dan mungkin itu semua sudah lebih dari cukup. (*)
*) Dhahana Adi Pungkas adalah academic, urban & local cultural interpreter.