Amanat UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 sebenarnya sudah memberikan arah jelas untuk memperkuat sistem merit, menghapus sekat sektoral antarinstansi, dan mempercepat transformasi SDM aparatur.
Namun, implementasinya harus disertai komitmen seluruh stakeholder. Sebagaimana prinsip dasar dalam Renbangrir, yakni kepastian, profesionalisme, transparansi, integritas, dan keadilan. Semua itu harus benar-benar dihidupkan dalam praktik sehari-hari.
Masalahnya, cita-cita besar itu belum sepenuhnya terwujud di lapangan. Di tengah semangat reformasi birokrasi, masih tumbuh budaya kerja yang permisif terhadap praktik-praktik non-merit, titip jabatan, jalur belakang, dan transaksi jabatan yang dibungkus eufemisme ”gratifikasi”.
Di sinilah hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 KPK menjadi cermin pahit, bahwa sebagian birokrasi masih berjuang keluar dari bayang-bayang budaya lama.
Hasil survei itu bukan sekadar data statistik, melainkan juga alarm moral yang mengingatkan kita bahwa keberhasilan reformasi birokrasi tidak ditentukan oleh seberapa banyak regulasi dibuat.
Itu merupakan panggilan introspeksi. Sudah saatnya mekanisme promosi yang terbuka dan pola karier berbasis kinerja benar-benar diterapkan sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Maka, ketika jabatan bukan lagi hasil kedekatan, dan karier tak lagi ditentukan oleh titipan, meritokrasi bukan sekadar impian. Meritokrasi menjadi sebuah upaya untuk menjaga marwah pelayanan. Ia akan mewujud dalam wajah baru birokrasi Indonesia. (*)
*) Adha Anggraini adalah pranata humas Itjen Kemenag