HARIAN DISWAY- Setiap tanggal 3 November, Indonesia memperingati Hari Kerohanian Nasional. Momen ini menjadi ajang refleksi untuk menumbuhkan kembali nilai spiritual di tengah keberagaman agama dan keyakinan.
Hari Kerohanian Nasional adalah tentang cara manusia menjaga hubungan dengan sesama dan lingkungan.
Melalui peringatan ini, masyarakat diajak untuk mengingat bahwa spiritualitas sejati adalah bentuk kesadaran dan empati dalam kehidupan sehari-hari.
Generasi Z dan Tantangan Spiritualitas Modern
Muncul pertanyaan yang menarik: apakah anak muda saat ini masih peduli dengan makna Hari Kerohanian Nasional?
BACA JUGA:Hari Toleransi Internasional 16 November, Ini Sejarah, Tujuan, dan Cara Memperingatinya
BACA JUGA:Memaknai Arti Toleransi dalam Peringatan Bom 13 Mei di Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya
Beberapa survei menunjukkan bahwa generasi muda, terutama Generasi Z, memiliki keterikatan religius yang lebih fleksibel.
Mereka tidak selalu menunjukkan religiusitas melalui kegiatan formal, tetapi lebih kepada pencarian makna pribadi dan keseimbangan hidup.
Mereka tumbuh di tengah dunia digital, terbiasa berpikir kritis, dan sering kali mencari spiritualitas melalui pengalaman yang lebih personal. Misalnya, meditasi, journaling, atau kegiatan sosial.
Meski berbeda bentuk, hal ini tetap menunjukkan adanya pencarian makna batiniah di kalangan muda.
BACA JUGA:EBIFF 2025 Hadir di Samarinda: Pertemuan Budaya Dunia dalam Simfoni Toleransi dan Seni Rakyat
BACA JUGA:Masjid Ikon Surabaya (10): Simbol Toleransi Sejak Zaman Kompeni
Saat Spiritualitas Bertransformasi
GENERASI MUDA tak kehilangan arah spiritual, mereka hanya memaknainya dengan cara yang lebih personal dan relevan dengan zaman-redeemercitytocity-
Generasi muda kini menafsirkan spiritualitas dengan cara yang lebih luas. Bagi sebagian, spiritualitas bukan hanya tentang ajaran agama, tetapi juga tentang kesadaran diri, ketenangan, dan koneksi dengan semesta.
Bentuk-bentuk baru spiritualitas muncul. Mulai dari minat pada mindfulness, praktik syukur harian, hingga gerakan komunitas yang menanamkan nilai kemanusiaan dan empati.
Perubahan ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Tantangan bagi lembaga pendidikan dan keagamaan untuk menyesuaikan pendekatan mereka, dan peluang bagi anak muda untuk menemukan versi spiritualitas yang lebih relevan dengan zaman.
Menghidupkan Kembali Makna Hari Kerohanian
Hari Kerohanian Nasional seharusnya menjadi ruang inklusif bagi anak muda untuk kembali merefleksikan diri.
BACA JUGA:Perayaan Isra Miraj dan Imlek, Eri Cahyadi Ingatkan Warga Surabaya Jaga Keamanan dan Toleransi
BACA JUGA:Sambut Perayaan Natal 2024, Eri Cahyadi Ajak Warga Jaga Kerukunan dan Toleransi
Melalui kegiatan kreatif seperti diskusi lintas agama, konser rohani, dan kampanye sosial, nilai spiritual dapat disampaikan dengan cara yang lebih membumi.
Generasi muda tidak kehilangan spiritualitas, mereka hanya memaknainya dengan cara yang berbeda.
Dan di situlah makna sejati Hari Kerohanian Nasional, bukan sekadar mengingat Tuhan, tetapi juga menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang membuat hidup terasa lebih bermakna. (*)
BACA JUGA:Menikmati Festival Toleransi Menyambut Bapa Suci, Kuatkan Pesan Keberagaman Lewat Lukisan
BACA JUGA:Belajar Saling Toleransi dari Tiongkok
*) Mahasiswa magang dari Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya