Review UU 14/2025 tentang Haji dan Umrah, Perlu dan Mendesak

Jumat 21-11-2025,23:44 WIB
Oleh: Ulul Albab*

ADA satu pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan bersama: apakah negara benar-benar memahami risiko yang muncul ketika regulasi perjalanan ibadah, khususnya umrah, dibuka terlalu longgar tanpa instrumen perlindungan yang memadai? 

Pertanyaan itu menjadi relevan ketika kita mencermati UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Haji dan Umrah, terutama pasal-pasal yang memberikan ruang luas bagi skema umrah mandiri. 

Sekilas, gagasan itu tampak sebagai bentuk kemudahan layanan bagi masyarakat. Namun, jika disandingkan dengan realitas lapangan selama satu dekade terakhir, kita justru melihat potensi bahaya yang tidak dapat diremehkan.

BACA JUGA:Ketika Penyidikan Kuota Haji Menjadi Labirin

BACA JUGA:Arah Reformasi Tata Kelola Keuangan Haji: Antara Amanah, Profesionalisme, dan Kemaslahatan Umat

Sejak tahun 2015, berbagai laporan resmi pemerintah, Kedutaan Besar dan Konsulat RI di Arab Saudi, lembaga internasional seperti UNODC dan The US Trafficking in Persons (TIP) Report, hingga investigasi organisasi masyarakat sipil menunjukkan sebuah pola kejahatan yang konsisten dan mengkhawatirkan: visa umrah merupakan jalur paling mudah dan paling sering dipakai untuk mengirim pekerja migran ilegal dan korban perdagangan manusia ke Arab Saudi. 

Polanya berulang, wilayah operasinya meluas, dan kelompok korbannya makin beragam. Setiap tahun laporan-laporan itu datang dengan narasi yang hampir sama. Sebuah ironi yang seharusnya memantik kewaspadaan pembuat undang-undang.

Menariknya, tidak satu pun dari laporan tersebut yang menyebut PPIU (penyelenggara perjalanan ibadah umrah) sebagai pintu masuk perdagangan manusia. 

BACA JUGA:Potret Terkini Industri Haji dan Umrah di Tengah Dinamika UU Nomor 14 Tahun 2025

BACA JUGA:Kuota Tambahan Haji 2024: Rezeki, Diskresi, atau Korupsi?

Semua kasus yang terverifikasi menunjukkan pola yang sama: hampir seluruh korban diberangkatkan melalui jalur individu atau umrah mandiri, tanpa pendamping, tanpa manifes, tanpa penanggung jawab, tanpa SOP monitoring, dan tanpa mekanisme pelaporan jamaah hilang sebagaimana diterapkan pada sistem PPIU. 

Dengan kata lain, PPIU justru selama ini berfungsi sebagai pagar pengaman alami melalui mekanisme administratif dan operasional yang ketat.

Sebaliknya, pada skema umrah mandiri, negara menghadapi titik buta yang sangat lebar. 

BACA JUGA:Korupsi dan Formalisme Beragama: Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji

BACA JUGA:Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024

Kategori :