Borobudur Marathon dan Cerita Keringat di Kaki Candi

Sabtu 22-11-2025,09:03 WIB
Oleh: Oviesta Tasha Retyananda*

Ketika elektrolit turun, sistem saraf tidak dapat bekerja dengan baik. Sinyal ke otot dan otak menjadi kacau sehingga membuat tubuh makin sulit mempertahankan fokus. Tim medis langsung bekerja mengatasi kondisi itu dengan mendinginkan tubuh, memberikan cairan elektrolit, dan memastikan stabilitas pelari. 

Yang menarik adalah betapa sering pelari berkeras ingin melanjutkan lari meski tubuh sudah memberikan peringatan tegas.

Setelah drama panas mereda, panggung berpindah kepada pemeran utama yang selalu muncul setiap tahun. Kram otot. Masalah klasik itu menjadi musuh yang sering menyergap tiba-tiba. Tidak peduli apakah pelari itu pemula atau berpengalaman. Kram bisa datang kapan saja ketika otot sudah lelah tetapi tetap dipaksa untuk bekerja. 

Pada kilometer tertentu, betis atau paha bisa mengeras seperti terjebak dalam lingkaran setrum. Banyak pelari saat itu hanya bisa berhenti, meringis, dan brusaha menahan rasa sakit yang menusuk.

Jika dilihat dari sisi fisiologi, kram adalah pertengkaran kecil antara saraf dan otot yang kelelahan. Sinyal yang seharusnya mengatur relaksasi otot mendadak terganggu sehingga otot terjebak dalam kontraksi yang tidak mau kendur. 

Faktor penyebabnya beragam, mulai pemanasan yang kurang maksimal, hidrasi yang tidak tepat, hingga ketegangan otot yang menumpuk selama berlari. 

Ketika pelari datang ke pos medis sambil menyeret kaki, tim medis tahu bahwa misi berikutnya adalah menenangkan otot yang memberontak. Stretching pasif, kompres, dan cairan elektrolit menjadi bagian dari ritual penyelamatan.

Yang membuat drama itu unik adalah reaksi para pelari. Banyak dari mereka yang baru saja mengalami kram hebat tiba-tiba berubah optimistis. Setelah rasa sakit berkurang sedikit, mereka dengan penuh keyakinan mengatakan sudah siap melanjutkan lari. Walaupun, langkahnya masih kaku dan wajahnya belum pulih sepenuhnya. 

Sikap itu menunjukkan bahwa Borobudur Marathon bukan hanya tentang tubuh, melainkan juga tentang mental yang keras. Pelari datang tidak sekadar berlari, tetapi juga membawa ego, ambisi, dan keberanian untuk menolak menyerah.

Drama tidak berhenti saat para pelari melewati garis finis. Justru di sanalah episode penutup yang menarik sering terjadi. Banyak pelari yang hampir tumbang, tetapi tetap menyempatkan diri untuk foto. 

Ada yang berjalan sempoyongan menuju spot foto resmi, ada yang memaksa tersenyum meski kakinya gemetar. Budaya visual memang membuat momen finis menjadi sesuatu yang wajib diabadikan. Namun, setelah kamera berhenti mengambil foto, tubuh meminta perhatian penuh. 

Pendinginan menjadi tahap penting yang sering diabaikan. Tubuh membutuhkan waktu untuk menurunkan detak jantung, mengatur tekanan darah, dan menyesuaikan sirkulasi darah yang sempat berubah drastis. Ketika cool down dilakukan dengan benar, risiko pusing dan DOMS bisa berkurang secara signifikan.

Pada akhirnya Borobudur Marathon bukan hanya ajang lari. Itu adalah potret nyata perjuangan manusia melawan batas diri. Ada yang menang atas rasa sakit, ada yang belajar tentang kelemahan tubuh sendiri, dan ada yang pulang dengan kebanggaan setelah bertahan dari drama panas dan kram. 

Semua drama itu menjadi bukti betapa kompleksnya tubuh manusia bekerja ketika menghadapi tantangan fisik yang berat. Sebab, lari bukan hanya tentang jarak atau kecepatan. Lari adalah cerita hubungan antara tubuh dan tekad yang diuji dalam keringat, panas, dan ribuan langkah yang tak pernah berhenti.

Jika ada satu pelajaran yang bisa dibawa pulang dari event itu, pelajaran tersebut sederhana. Tubuh bisa menjadi sahabat terbaik jika kita mau mengenalnya dengan lebih dalam. Dan, setiap drama di balik keringat selalu menyimpan pesan yang membuat pelari kembali lagi tahun depan dengan mental yang lebih siap dan strategi yang lebih matang. (*)

*) Oviesta Tasha Retyananda adalah sports physiology enthusiast.

Kategori :