AI, Teman Baru di Sudut Kehidupan Kita

Jumat 19-12-2025,07:33 WIB
Oleh: Dwi Prasetyo*

Alasannya cukup pragmatis, 39 persen menyebut biaya konsultasi psikolog mahal, sedangkan AI gratis. Sebanyak 27 peren percaya AI lebih aman menyimpan rahasia. Bahkan 11 persen merasakan AI dapat membantu memecahkan masalah pribadi mereka, dan 10 persen berpendapat AI lebih netral dan tidak menghakimi. 

Dalam dunia yang makin cepat , kebutuhan manusia untuk memiliki ruang aman tampaknya makin besar dan AI, entah bagaimana, menawarkan ilusi ruang itu.

Namun, pertanyaan besarnya tetap menggantung, bisakah AI benar-benar menggantikan sentuhan manusia? Menurut saya, belum dan mungkin tidak akan pernah. AI bisa mendengar, tapi tidak bisa merasakan. 

AI bisa memberi saran, tapi tidak bisa memeluk atau menatap dengan empati. Dan, faktanya, survei pun memperlihatkan bahwa 42 persen pengguna yang sering curhat ke AI tidak melihatnya sebagai pengganti psikolog. 

Bagi mereka, AI hanyalah pelampiasan emosional, semacam menulis di jurnal atau curhat yang dilakukan bukan untuk mendapatkan solusi sempurna, tetapi untuk merasa lega.

Meski demikian, saya tidak melihat kehadiran AI sebagai ancaman. Justru saya melihat peluang besar. AI bukan musuh, bukan pesaing, dan bukan sesuatu yang harus kita takuti. AI adalah pelengkap. 

AI membantu kita belajar lebih cepat, bekerja lebih efisien, bahkan terkadang membuat kita tertawa dengan jawaban-jawaban yang tak terduga. Ada 29 persen responden yang percaya AI lebih baik dalam memecahkan masalah kompleks daripada manusia. 

Lalu, 19 persen mengapresiasi kecepatan dan kemudahannya, dan 18 persen merasa nyaman bertanya apa pun tanpa rasa takut dihakimi. Bukankah rasa aman untuk bertanya adalah sesuatu yang sering dirindukan dalam interaksi manusia?

Platform AI yang paling banyak digunakan pun sudah tidak asing lagi. ChatGPT berada di posisi teratas dengan 71 persen pengguna. Disusul Meta AI (52%), CapCut (40%), Gemini (34%), dan Google Assistant (23%). 

Aplikasi-aplikasi itu bukan lagi sekadar program di ponsel. AI sudah menjadi alat yang menyatu dengan rutinitas harian kita seperti listrik atau koneksi Wifi yang keberadaannya baru kita sadari ketika mati.

Bagaimana dengan tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap AI? Ternyata cukup menarik. Sebanyak 13% responden mengatakan mereka sangat percaya, 27% percaya, dan 58% bersikap netral. Hanya 1% yang kurang percaya, dan menariknya, tidak ada seorang pun yang menyatakan ”sangat tidak percaya”. 

Itu menandakan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya bersikap optimistis meski tetap berhati-hati terhadap perkembangan teknologi ini.

Lalu, apakah kita perlu takut pada AI? Menurut saya, tidak. Yang perlu kita lakukan adalah bersikap bijak. Gunakan AI untuk memperkuat diri, bukan menggantikan rasa. Gunakan untuk belajar, bukan untuk menyerah berpikir. Sebab, pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. 

Yang membuat kehidupan ini memiliki makna adalah kita sebagai manusia, dengan segala ketidaksempurnaan, kegagalan, humor receh, dan kehangatan yang tidak bisa diprogram.

Saya percaya, masa depan bukan tentang manusia melawan mesin, melainkan manusia yang tahu cara memanfaatkan mesin dengan bijaksana. AI bisa menjadi teman, asisten, guru, bahkan kadang menjadi lawan debat yang lucu. 

Tapi, satu hal pasti, AI tidak akan pernah menjadi manusia. Justru karena itu, ruang bagi kita untuk tetap menjadi makhluk yang berpikir, merasa, dan mencipta akan selalu ada.

Kategori :