Pendekatan itu dipilih agar warisan budaya tidak terasa jauh atau kuno. Melainkan dekat dengan keseharian mereka.
“Anak-anak hari ini hidup di dunia teknologi. Maka, warisan budaya harus disampaikan dengan bahasa zamannya. Tanpa kehilangan kedalaman makna," ujar Dr. Redy.
BACA JUGA:Sutanto Mendut Kritisi Kebijakan Pemerintah Soal Tiket Candi Borobudur
BACA JUGA:Harga Tiket Candi Borobudur Rp 750 Ribu Untuk Pelancong Lokal
Dalam program itu, Dr. Redy yang juga menjabat Ketua Kompartemen Kebudayaan Ikatan Alumni Universitas Brawijaya berperan sebagai pengembang utama materi Sound of Borobudur.
Ia memasukkannya ke dalam berbagai kemasan edukasi berbasis AI. Program tersebut melibatkan civitas akademik Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya sebagai bagian dari proses pengembangan konten.
Selain video edukasi, Sound of Borobudur juga tengah mempersiapkan peluncuran buku Sound of Borobudur.
Buku itu disusun melalui kerja sama dengan Universitas Brawijaya dan akan diterbitkan oleh Intrans Publishing.
BACA JUGA:E-Inobus, Bus Listrik Produksi PT INKA, Unjuk Gigi di Borobudur
BACA JUGA:BRI Jazz Gunung Indonesia 2025, Kua Etnika Sajikan Doa Musik untuk Djaduk Ferianto
Isinya dirancang sebagai rujukan akademik sekaligus bacaan populer. Yang merangkum riset relief, proses rekonstruksi alat musik, hingga refleksi kebudayaan Sound of Borobudur dalam konteks global.
Trie Utami menekankan pentingnya mengenalkan warisan itu sejak dini. Menurutnya, ketika anak-anak mengetahui bahwa leluhurnya pernah menjadi bagian dari sejarah musik dunia, rasa bangga dan kesadaran budaya akan tumbuh secara alami.
Melalui Sound of Borobudur for Kids, Borobudur menjelma sebagai perpustakaan musik raksasa yang terukir di atas batu.
Candi itu berbicara lintas zaman kepada generasi masa depan. Dan bagi anak-anak yang menontonnya hari ini, petualangan mengenal bunyi masa lalu itu baru saja dimulai. (*)