Review Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore (1)

Review Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore (1)

GENG PENYIHIR PUTIH, dari kiri, Lally Hicks (Jessica Williams), Theseus Scamander (Callum Turner), Albus Dumbledore (Jude Law), Minerva McGonagall (Fiona Glascott), Jacob Kowalski (Dan Fogler), dan Newt Scamander (Eddie Redmayne) dalam Fantastic Beasts: -Warner Bros. -Warner Bros.

 

Mau tak mau, Albus Dumbledore (Jude Law) bergerak. Ia mengerahkan tim untuk menghentikan aksi pria yang pernah ia cintai itu. Ada magizoologist Newt Scamander (Eddie Redmayne), si no-maj Jacob Kowalksi (Dan Fogler), dan kakak Newt, dan Theseus Scamander (Callum Turner). Plus beberapa wajah baru. 

 

Bahwa pemimpin ICW telah dicuci otak oleh Grindelwald, itu sangat masuk akal. Itu mirip seperti ketika Voldemort menguasai Kementerian Sihir saat hendak melawan Dumbledore dan Harry Potter berdekade-dekade kemudian. Tapi, kalau Grindelwald ingin tampil menjadi pemimpin dunia sihir, kok rasanya enggak banget.

 

Memimpin lewat institusi resmi bukan karakter penyihir besar. Voldemort tidak pernah menjadi menteri sihir. Begitu pula Dumbledore. Mereka lebih suka menyetir di belakang layar. Karena dengan begitu mereka lebih powerful. Tapi tangannya tetap bersih. Rowling bisa berkilah, memang Grindelwald enggak seperti Dumbledore atau Voldemort. Tapi bagi saya, plot pemilu ketua ICW ini hanya upaya Rowling untuk mengulur cerita. 

 

Sudah begitu, tokoh-tokoh yang dimasukkan sangat tidak relevan. Tidak memperkuat cerita. Dan kalau dibuang pun enggak apa-apa. Lally Hicks dan Bunty Broadacre muncul out of nowhere. Yusuf Kama ada sejak film kedua. Tapi saking forgettable-nya, kita sampai enggak tahu dia siapa.

 

Film ini juga terasa ’’lepas’’ dari dua pendahulunya. Plot Leta Lestrange dan Nagini yang sangat menjanjikan di Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald (2019) hilang begitu saja. Subplot yang dieksplorasi justru asal usul Credence (Ezra Miller). Yang ternyata juga enggak ngefek apa-apa buat cerita.

 

Seriously. Apa peran Credence? Diplot untuk membunuh Dumbledore? Seperti Draco Malfoy di Harry Potter and the Half Blood Prince? No. Grindelwald bisa menyuruh penyihir random mana saja untuk tugas itu. Dan tidak akan ada bedanya. Disiapkan buat sekuel berikutnya? Basi. Apalagi, sepertinya Miller bakal dipecat juga oleh Warner Bros. #eh.

 

Di Mana Fantastic Beasts-nya? 

 

Enggak tahu. Makin ke sini, hewan-hewan gaib yang fantastis memang semakin jadi tempelan saja. Bahkan plot tentang Qilin yang bisa melihat kemurnian hati seseorang terasa dipaksakan. Biar ada unsur fantastic beasts-nya aja gitu. Untung Teddy si Niffler dan Pickett si Bowtruckle masih lucu. Kepiting aneh di penjara sihir rahasia Jerman juga lucu. Tapi ya sudah. Gitu doang.

 

Saya keluar bioskop dengan dongkol. Bahkan CGI yang cakep dan pernikahan Jacob dan Queenie Goldstein—peristiwa yang jadi tonggak bersejarah dalam hubungan penyihir dengan no-maj—tak mampu menghibur saya. Demikian pula kemunculan Tina Goldstein di akhir cerita. Malah saking tidak relevannya, saya lupa tokoh itu pernah ada.

 

Tapi rupanya saya adalah golongan orang yang pernah disebut oleh J.K. Rowling. Bahwa meski dia membuat film jelek sekalipun, Potterhead akan tetap menontonnya. Ah, sebel. (*)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: