Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore (2)
Oleh
Edwin Santioso,
Karyawan Swasta
Member Grup Hobby Nonton
FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE sejatinya cukup menghibur. Setidaknya buat penyuka dunia sihir dan fantasi. Tapi tidak cukup memuaskan sebagai sebuah franchise. Fantastic Beasts memang bukan terlahir dari novel. Tapi hanya dari buku katalog hewan-hewan gaib di dunia Harry Potter. Sehingga waralaba ini bisa dikatakan tak memiliki basis fan yang fanatik dan riuh seperti induknya.
Film pertama memang selalu yang terbaik. Seri kedua, yang berfokus pada cerita Gellert Grindelwald juga cukup memuaskan. Meski terbilang tak sebaik sebelumnya. Tapi yang ketiga ini seakan anjlok ke tebing yang tak terlalu dalam.
Meskipun sutradara David Yates dan J.K Rowling membawa dunia sihir ini kembali ke Hogwarts, tapi masih saja kurang menarik. Mungkin karena film kali ini bukan lagi berfokus pada binatang-binatang fantastis. Sehingga karakter Newt Scamander (Eddie Redmayne) seakan hanya jadi tokoh pendamping Albus Dumbledore. Pada poster, judul utama Fantastic Beasts bahkan dibikin lebih kecil daripada The Secrets of Dumbledore.
Keputusan Warner Bros. memecat Johnny Depp dari karakter Grindelwald adalah keputusan paling buruk. Saya akui, Mads Mikkelsen bermain apik sebagai penyihir hitam kelahiran Hungaria tersebut. Tapi karakter edan nan unik khas Johnny Depp benar-benar lenyap. Sehingga taste film ini menjadi tidak semenarik dulu.
Tidak seperti petualangan Newt di film pertama, yang mengenalkan banyak sekali binatang fantastis, petualangan ketiga ini berfokus ke petualangan Dumbledore yang mencoba menggagalkan rencana Grindelwald yang semakin berkuasa. Sedangkan Newt hanya sebagai sosok pendamping, dengan gaya kikuknya yang hanya menjadi pengamat saja.
Untuk film yang cukup menghibur, tema The Secrets of Dumbledore terasa berat dan gelap. Dengan set abu-abu suram yang sedikit menjemukan, alurnya menjadi tidak seindah dunia sihir yang seharusnya penuh dengan kilau keajaiban.
Adegan-adegan pertempurannya seru. Tapi pada beberapa titik kadang membuat frustasi karena ketidakjelasan cerita yang ditahan untuk dijelaskan di akhir cerita. Tema Fantastic Beasts dilumpuhkan oleh ketidamampuan plotnya untuk memusatkan perhatian ke dalam alur cerita atau perjalanan karakter tertentu dengan baik.
Tapi secara garis besar, franchise ketiga ini cukup menghibur sebagai film aksi fantasi yang memanjakan mata. CGI-nya top markotop lah. Ada banyak cuplikan seperti itu di beberapa scene, di pelarian penjara dan beberapa momen singkat di aula Hogwarts.
Tapi untuk film terpanjang dalam franchise ini, tidak banyak momen mengesankan yang disampaikan oleh David Yates, sang sutradara. Apa dengan hasil seperti ini, dengan masih ada dua film tersisa dari waralaba Fantastic Beasts, apakah Warner Bros. masih akan mengajak Yates kembali ke kursi sutradara? Entahlah.
Akhirnya saya menyimpulkan. Bahwa film ketiga dari lima seri Fantastic Beasts ini adalah sebuah langkah mundur dari dua seri sebelumnya. Kualitasnya masih jauh dari franchise Harry Potter yang paling rendah sekalipun. Setidaknya masih cukup menghibur untuk sebuah film fantasi dan sihir lainnya di luar Harry Potter. (Retna Christa-*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: