Pareto di Perbankan

Pareto di Perbankan

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PANDEMI dua tahun tak membuat kekayaan masyarakat berkurang. Buktinya, simpanan masyarakat justru bertambah. Di perbankan, simpanan  tumbuh 9,5 persen (year-on-year/yoy) pada triwulan I 2022 ini. Nilainya mencapai Rp 7.544 triliun. Jumlah rekeningnya pun naik menjadi 453,5 juta.

 

Sayang, tambahan kekayaan itu lebih dinikmati orang-orang kaya saja. Data di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan, simpanan dengan tiering di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 3.905 triliun. Itu sudah lebih dari separuh (51,8 persen) total simpanan di bank.

 

Padahal, rekening di atas Rp 5 miliar hanya sekitar 118 ribu rekening. Hanya 0,026 persen dari total 453,5 juta rekening simpanan yang ada di 107 bank umum di Indonesia. Tentunya juga BPR. Yang jumlahnya Rp 1.481 triliun, tapi simpanannya hanya Rp 130 triliun.

 

Melihat data itu, tampak ketimpangan di perbankan luar biasa. Jauh dari ketimpangan normal. Biasanya ketimpangan di berbagai hal itu hanya 80/20. Yang lalu dikenal dengan Hukum Pareto atau Prinsip Pareto (Pareto Principle). Vilfredo Pareto sang penemu hukum itu melihat bahwa di dunia ini berlaku hukum ketidakseimbangan normal. Yang tidak jauh dari angka 80 persen dibanding 20 persen.

 

Pareto (18481923) melakukan pengamatan sebaran kekayaan tahun 1906 di Italia. Hasilnya, 80 persen kekayaan dimiliki sekitar 20 persen penduduk. Ternyata fenomena 80/20 itu juga ditemukan dalam berbagai hal. Pemikir manajemen Joseph M. Juran pun menerapkannya dalam bidang manajemen dan menyebutnya sebagai Pareto Principle.

 

Dalam bidang manajemen, Prinsip Pareto tersebut menjadi guidance. Dalam manajemen risiko, misalnya. Jika kita berhasil mengatasi 20 persen risiko misalnya, 2 dari 10 jenis risiko kita akan berhasil menyelamatkan 80 persen kemungkinan kerugian. Karena itu, tidak mesti semua risiko harus diatasi. Cukup fokus pada 20 persen risiko utama saja. Agar efisien, namun hasilnya menggembirakan.

 

Dalam penjualan juga begitu. Jika punya 10 jenis produk, berlaku Hukum Pareto, yakni dua produk bisa menyumbang 80 persen penjualan. Sekitar 20 persen cacat sistem akan menyebabkan 80 persen masalah. Begitu pun 80 persen keluhan pelanggan muncul dari 20 persen ketidakberesan produk atau jasa.

 

 

Jauh dari Ketidakseimbangan Normal

 

Di sekitar kita, kenyataan berbagai hal ternyata justru jauh lebih parah daripada ketidakseimbangan normal itu. Seperti fakta simpanan di perbankan kita. Bahwa 0,03 persen rekening memiliki simpanan hingga 51,8 persen total simpanan di perbankan.

 

Dalam skala lebih luas, kepemilikan kekayaan dan tanah juga jauh dari Hukum Pareto 80/20. Penelitian Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) menunjukkan, 10 persen orang terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Itu menjadikan ketimpangan ekonomi Indonesia terburuk keenam di dunia (Credit Swiss, 2017). 

 

Jika didalami, ketimpangan itu justru kian dalam. Satu persen orang terkaya  menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Dan, kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara kekayaan 100 juta orang termiskin. 

 

Dalam kepemilikan atau penguasaan tanah lebih parah lagi. Jauh dari ketidakseimbangan normal. The Institut for Global Justice (IGJ) mencatat, 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen tanah. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Yang memprihatinkan, 175 juta hektare atau sekitar 93 persen daratan dikuasai pemodal swasta/asing.

 

Fenomena itu juga terjadi di sektor usaha. Jumlah UMKM sangat banyak, tetapi hanya menguasai aset dan omzet yang kecil. Di pasar modal, sedikit investor menguasai mayoritas saham. Begitu juga di sektor-sektor ekonomi yang lain.

 

Apa penyebab ketimpangan yang parah itu? Salah satunya, fundamentalisme pasar yang mendorong orang kaya meraup keuntungan besar dalam perekonomian. Pemerintah lebih banyak menyerahkan urusan ekonomi kepada pasar. Dalam pandangan kapitalisme,  pasar bisa mengatur sendiri. Juga, mengontrol sendiri. Nyatanya, persaingan telah mendorong pelaku pasar yang kuat selalu mendistorsi pasar untuk  memperoleh keuntungan yang besar.

 

Itu bisa dilihat dari fenomena harga minyak goreng. Pemerintah kalah oleh pasar. Berbagai aturan tak mampu mengendalikan harga. Sampai kebijakan ekstrem pun dibuat pemerintah. Melarang ekspor crude palm oil (CPO) –bahan dasar minyak goreng– dan turunan-turunannya. 

 

Penyebab lainnya adalah political capture yang kuat. Orang-orang kaya  mampu memengaruhi kebijakan pemerintah yang menguntungkan mereka. Itu terlihat dari banyak terungkapnya KKN antara pengusaha, eksekutif, dan legislatif. Contohnya, kasus e-KTP, UU Minerba, impor daging, dan impor beras.

 

Selain itu, orientasi pemerintah yang hanya pada pertumbuhan ekonomi. Kita tahu, trade off pertumbuhan adalah pemerataan. Orang-orang miskin berada pada sektor pertanian yang kontribusinya terhadap ekonomi (PDB) tidak terlalu besar. Pemerintah lebih mementingkan sektor yang memiliki kontribusi besar. Yaitu, sektor industri dan perdagangan.  Pertumbuhan ekonomi pun hanya dinikmati ”kelas atas”

 

Ketimpangan yang parah tersebut harus segera diatasi dengan keberpihakan kepada yang lemah dan kecil. Mereka yang tak memiliki science, skill, dan capital itu tak akan bisa bersaing dalam pasar bebas. Pemerintah harus berpihak kepada mereka dalam segala hal. Terutama pada regulasi. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah harus selalu  memberikan kemudahan kepada yang kecil. Kebijakan pembangunan, baik infrastruktur maupun yang lain, harus diorientasikan untuk menjadikan orang kecil berdaya.

 

Tanpa keberpihakan, ketimpangan akan makin parah. Kian jauh dari ketidakseimbangan normal. Kian jauh dari Hukum Pareto 80:20. (*)

 

*)Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan II Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: