Nasionalisme sebagai Kunci Pertumbuhan

Nasionalisme sebagai Kunci Pertumbuhan

KALI ini kita kembali merayakan Kemerdekaan RI dalam suasana pandemi. Kita patut syukuri, tak seperti tahun 2020, kali ini ada secercah harapan bahwa kita segera pulih. Ekonomi kita pada triwulan II 2021 ini tumbuh 7,07 persen (yoy) dan 3,31 persen jika kita bandingkan dengan triwulan pertama (qtq). Yang lebih penting, pertumbuhan positif itu menjadi penanda resesi telah berlalu.

Pertumbuhan ini tentunya harus dijaga dan dipertahankan agar, meski masih pandemic sekali pun, ekonomi kita bisa pulih. Karena itu kita membutuhkan pertumbuhan yang berkelanjutan. Apa kuncinya? Nasionalisme.

Itulah kesimpulan ekonom Harvard Leah Greenfeld (2001). ”Pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern tak otomatis berkelanjutan. Pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme,” begitu tulisnya. Meski saat ini dunia sudah berada pada masa kapitalisme lanjut, bahkan pasca-industrialisasi, nasionalisme tetap menjadi begitu penting.

Ekonom Cambridge, Joan Robinson, punya pemikiran yang sama. Bahwa inti ekonomi adalah nasionalisme.  Ya, apa yang dilakukan negara maju dengan berbagai konsepnya, termasuk globalisasi, adalah demi nasionalisme mereka. Demi kepentingan negara dan rakyat mereka. Begitu juga seharusnya kita. Apalagi di masa pandemi ini. Pemulihan ekonomi hanya bisa kita capai jika kita semua memiliki nasionalisme yang tinggi.

Seperti apa nasionalisme ekonomi ini? Intinya adalah semua mengutamakan kepentingan nasional. Pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, dan seluruh rakyat bersikap dan bertindak dengan mengutamakan kepentingan nasional. Ini pula yang dilakukan negara-negara adidaya untuk memper­tahan­kan eksistensinya dengan berbagai dalih ekonomi dan politik.

Nilai ekonomi dari suatu asset sebenarnya besar lebih karena perputarannya. Aset yang kecil jika perputarannya tinggi, maka nilai ekonominya akan tinggi pula. Karena itu, prinsip menumbuhkan ekonomi adalah menaikkan perputarannya. Semakin besar putarannya, maka angka multiplier-nya semakin besar, dan semakin besar pula nilai ekonominya.

Dalam ekonomi mikro, kita mengenal adanya perputaran asset dan perputaran ekuitas. Jika ekuitas Rp 1 juta berputar 12 kali setahun, artinya nilai ekonominya berlipat 12 kali, yaitu Rp 12 juta. Jika marginnya 10 persen, maka margin setahun adalah Rp 1,2 juta atau 120 persen atas ekuitasnya.  Begitu pun dalam ekonomi makro.

Karena itu, penting bagi kita bahwa setiap asset ekonomi berputar sebesar mungkin. Dan yang lebih penting, perputarannya ada di dalam negeri, sehingga nilai ekonominya kita nikmati. Bukan dinikmati oleh Tiongkok, Jepang, AS, atau negara-negara yang mengekspor barangnya ke Indonesia.

Wujud nasionalisme ekonomi ini bagi kita cukup mudah. Kita belanja barang-barang produksi dalam negeri. Kita baru mengonsumsi barang impor ketika memang kita tak memproduksinya.

Bagi politikus, nasionalisme ekonomi berarti membuat setiap peraturan perundang-undangan demi kepentingan dalam negeri. Bukan kepentingan diri sendiri. Lebih-lebih kepentingan asing. Maka, seharusnya UU Investasi, UU Energi, UU Ketenaga Kerjaan, dan semua UU dibuat semata-mata demi bangsa dan rakyat Indonesia.

Bagi pemerintah, nasionalisme ekonomi bisa diwujudkan dengan mengarahkan pembangunan pada pembangunan Indonesia. Bukan pembangunan di Indonesia. Untuk itu, setiap pembangunan harus melibatkan rakyat sebagai stakeholder utama pemerintah. Pembangunan perekonomian rakyat juga harus menjadi akar bagi penguatan fundamental ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme eko­nomi. (*)

 

*Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: