Bayangan Koran di Mendung Tanpo Udan

Bayangan Koran di Mendung Tanpo Udan

PERTANYAAN ini muncul dari seorang mahasiswi peserta kuliah manajemen media online yang saya ampu kemarin pagi (28/9). Kalimatnya kira-kira seperti ini: apa yang membuat media online punya kualitas lebih buruk daripada media cetak?

Nah, ini…

Saya sendiri meyakini dan menjawabbahwa kualitas media (baca: jurnalistik) tidak ditentukan platformnya.

Platform media bisa diibaratkan sebagai wadah yang menjadi penampung konten. Bentuk wadah itu mungkin berbeda-beda. Namun, wadah tersebut tidak bisa serta-merta menjadi penentu kualitas isi (konten).

Analoginya bisa seperti orang ngopi. Kopi itu bisa ditempatkan pada wadah apa pun. Mungkin di gelas, cangkir, atau botol. Dan kita tidak bisa serta-merta menjustifikasi bahwa kopi pada cangkir adalah lebih baik daripada kopi botolan. Atau, kopi botol adalah kasta tertinggi minum kopi.

Ukuran utamanya tetap pada kenikmatan cita rasa kopi itu. Pada konten.

Tentu, wadah yang berbeda-beda itu akan menciptakan konsekuensi yang berbeda-beda pula. Bedanya adalah pada cara menikmatinya.

Kopi pada cangkir akan menciptakan ”ritual” yang berbeda dengan kopi pada botol. Kopi di cangkir bisa jadi terasa asyik ketika dinikmati bersama di sebuah tempat nongkrong. Sembari menikmati aroma kopi yang masih panas, sembari mendengarkan gemericik kopi yang dituang pada lepek, sembari merasakan seruputan kopi yang menyentuh lidah.

Sebaliknya, kopi di botol bisa jadi cocok untuk orang-orang yang mobile. Mereka bisa mencecap kopi itu di antara dinamika kesibukannya. Lalu, membawanya ke tempat lain sembari sesekali menyeruput kopi itu di dalam perjalanan.

Tetapi, sekali lagi, tentu tidak bisa dengan serta-merta disebut bahwa kopi cangkir lebih berkualitas daripada kopi botolan. Atau sebaliknya.

Sejumlah referensi memang bisa menyebutkan dengan detail karakteristik setiap media. Baik media cetak (koran), media elektronik (televisi/radio), maupun media digital. Dan yang dibedakan benar-benar karakteristiknya. Misalnya, bentuk kontennya (teks, audio, visual, atau audio visual), intensitas penerbitannya (harian, mingguan, atau real time), langgam bahasanya (formal, baku, bahasa tutur, atau bahasa yang intim), hingga interaktivitasnya (komunikasi satu arah ala koran atau komunikasi yang interaktif hingga membentuk sebuah community ala media digital).

Pembedaan karakter itu tidak lantas memberikan penghakiman bahwa media yang ’’lama’’ jauh lebih baik daripada media baru. Yang berbeda adalah bentuk platformnya. Bukan kualitasnya.

Satu hal yang tidak bisa dimungkiri adalah khalayak media digital makin bertambah. Itu diungkapkan Jennifer Alejandro dalam tulisannya yang berjudul Journalism in the Age of Social Media (Reuters Institute for the Study of Journalism & University of Oxford, 2010). Dia mengatakan bahwa konsumsi media saat ini benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan zaman pra-satelit, ketika khalayak menunggu berita pagi mereka melalui koran. Konsumsi media berbeda dengan masa ketika orang tepekur di depan televisi selama 24 jam untuk menunggu kabar kejadian dari berbagai penjuru dunia.

More recently, a growing number of readers, viewers, and listeners are going online for their news. Television, newspaper, and radio are still here but there is a growing competition from interactive online media.” Radio, televisi, dan koran masih hidup. Namun, mereka digempur media online yang lebih interaktif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: