Bayangan Koran di Mendung Tanpo Udan
Interaktivitas itu pula yang disebut oleh James C. Foust dalam bukunya, Online Journalism; Principles and Practices of News for the Web (2010), sebagai salah satu keunggulan media daring. Keunggulan lain adalah: audiens yang memegang kontrol besar, penyajian berita yang dinamis, ruang yang tidak terbatas, kesegeraan, dan kapabilitas multimedia.
Kesegeraan itu barangkali yang pernah menjadi problem besar media daring. Kesegeraan yang tiba-tiba berubah menjadi ketergesa-gesaan. Yang penting cepat. Benar atau salah urusan belakangan. Toh, bisa diralat. Toh, beritanya bisa dihapus.
Tak heran, pada pengantar buku Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika (2014) ditulis kalimat ini: Kita tengah berada pada sebuah zaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun.
Nah, pakem jurnalistik itu tentu bukan pakem platform. Pakem jurnalistik pasti terkait bagaimana sebuah berita diproduksi (dicari, diolah, ditulis) dan dipublikasikan (melalui media apa pun). Karena itu, kepada mahasiswi yang bertanya tadi, saya hanya menyarankan, bacalah berita sebanyak-banyaknya dari media apa pun. Dari situlah dia bisa menentukan, ini berita yang berkualitas atau ini berita yang buruk. Ini media daring yang tepercaya, ini media online yang punya problem jurnalistik yang besar. Atau, ini koran yang baik, ini koran yang ”sebaiknya tidak dijadikan langganan”.
Evelina Witanama, peserta Koko-Cici Jatim 2020, membaca Harian Disway
(Foto: Dok. Harian Disway)
Kehadiran media online memang sebuah keniscayaan. Tidak bisa dibendung. Maka, media-media lama pun harus berubah. Bukan menjadi ikut-ikutan go online. Tetapi, menguatkan kualitas sajian mereka sesuai platform. Mereka yang tetap istikamah di jalur cetak tentu saja tidak bisa membuat berita sama seperti wartawan-wartawan era 80–90-an.
Dahlan Iskan, founder Harian Disway, pernah ’’menggerutu’’ dalam sebuah buku kecil yang diterbitkan secara internal pada 2009. ”Maka untuk menghindari surat kabar mati, usaha yang pertama-tama harus dilakukan adalah membenahi komitmen wartawannya. Terlalu banyak wartawan yang membuat berita dengan pola yang sama dengan yang dibuat wartawan 30 tahun lalu. Padahal, zaman sudah berubah drastis.” Begitu tulis Dahlan.
Masalahnya, para jurnalis tradisional tidak hanya sulit beradaptasi dengan media-media baru tersebut. Tetapi, menurut P. Boczkowski dalam buku Digitizing the News: Innovation in Online Newspapers (2004), kultur ruang redaksi media lama selalu mewariskan nilai-nilai ini: reaktif, defensif, dan pragmatis.
Sedangkan kata Diana Bossio pada 2017 (Journalism and Social Media; Practitioners, Organisations, and Institution) masih ada tiga hal yang menjadi pertanyaan besar terkait nasib jurnalisme di masa depan. Yakni, akan berwujud seperti apa, siapa yang akan mewujudkannya, dan norma-norma praktik seperti apa yang harus dijalankan.
Beberapa waktu lalu, dalam mata kuliah pengantar jurnalistik, saya bertanya kepada mahasiswa, apakah mereka yakin bahwa koran akan mati. Dalam lembar jawaban yang dikumpulkan, seorang mahasiswa yakin sekali bahwa koran pasti akan mati. Alasannya: di dunia ini tidak ada yang abadi. Alamak….
Saya sih merasakan bahwa minat pada media cetak sudah tidak seperti satu-dua dekade silam. Tapi, koran juga belum sampai pada kiamatnya. Dan yang membuat saya optimistis, koran tetap disebut dalam lagu Mendung Tanpo Udan, lagu ciptaan Kukuh Prasetya yang meledak saat dibawakan Ndarboy Geng feat Denny Caknan: awak dewe duwe bayangan, sesuk yen wis wayah omah-omahan, aku moco koran, sarungan. Kowe blonjo dasteran…
Tuh, masih ada orang yang duwe bayangan romantis tentang koran. Semoga bayangan itu terwujud. Tidak pupus. Apalagi kalau pupusnya karena aku kiri kowe kanan,… wis bedo dalan… (*)
*) Doan Widhiandono, penulis Harian Disway, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: