Bertemu Dua Tokoh setelah Meditasi

Bertemu Dua Tokoh setelah Meditasi

Sejarah kelam peristiwa 1965 membuat para penghayat kepercayaan yang eksistensinya belum diakui negara harus pintar bersiasat. Legino Marto Wiyono pun demikian.

Sebenarnya, pada 1959, Bambang Sutikno, penganut Budda Jawi Wisnu yang juga menantu Resi Kusumodewo, pemimpin tertinggi kepercayaan tersebut, telah diperintah untuk mendaftarkan agama mereka di Departemen Agama (Depag).

Namun ketika hendak datang ke Depag, tiba-tiba salah satu pemeluk agama lain melarangnya dengan mengiming-imingi akan membelikannya mobil dan rumah. Mungkin karena orang itu ketakutan terhadap eksistensi Budda Jawi Wisnu.

Maklum, saat itu kabarnya banyak tersebar di penjuru Pulau Jawa. Atau karena alasan lainnya. ”Entah, yang jelas pak Bambang tergiur iming-iming tersebut,” ujar Legino Marto Wiyono, resi atau pandhita Budda Jawi Wisnu, ketika ditemui di rumahnya, di Bratang Gede III-i, Surabaya.

Resi Kusumodewo yang akhirnya mendengar bahwa perintahnya tak dilaksanakan, marah besar. Ia benar-benar kecewa. Sayang sebelum didaftarkan kembali di Departemen Agama, Indonesia dilanda kekacauan yang disebabkan peristiwa penculikan tujuh jenderal dalam gerakan yang dikenal dengan G-30S/PKI.

Pasca-kejadian itu, banyak orang turun ke jalan untuk menumpas sisa-sisa PKI. Bahkan di kalangan masyarakat, tuduhan PKI begitu mudah digaungkan. Sehingga menjadi alasan untuk membunuh atau menjarah.

Pandhita Budda Jawi Wisnu Legino Marto Wiyono saat diajak berbincang santai oleh Harian Disway tentang perjalanannya sebagai resi, di depan rumahnya, di Jalan Bratang Gede III-i Surabaya. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Tak terkecuali bagi para penganut kepercayaan. Mereka sering menjadi sasaran fitnah hanya karena berbeda keyakinan. Akibatnya, semua orang dicekam ketakutan. ”Saat itu benar-benar genting. Banyak sanggar pamujan Budda Jawi Wisnu jadi sasaran pelemparan. Juga kepercayaan lainnya,” ungkap pria 78 tahun itu.

Di Banyuwangi, sanggar pamujan mereka diserang oleh oknum-oknum masyarakat dengan tuduhan sesat dan sebagainya. Sedangkan di Surabaya, para sesepuh Budda Jawi Wisnu tak lagi berani keluar secara terang-terangan.

Ketika pemerintah Orde Baru menetapkan lima agama yang diakui, maka semua orang wajib memeluk satu dari kelima agama tersebut. Banyak penghayat yang terpaksa seakan memilih agama yang diakui pemerintah dan menulisnya dalam kolom agama di KTP.

Pada 1966 sempat tersiar kabar bahwa perwakilan Budda Jawi Wisnu di Mojokerto memberanikan diri ke Jakarta. Untuk mendaftarkan agama mereka. Budda Jawi Wisnu punya kitab suci Wedda Jaya Sampurna dan Bhagawad Gita.

Termasuk punya sosok penerima wahyu yakni Resi Kusumodewo. Dialah yang mendirikan agama tersebut sejak 1925. Sebenarnya prasyarat untuk menjadi sebuah agama telah siap. Namun, pihak Depag melihat persoalan kitab Bhagawad Gita.

Mengingat kitab tersebut juga menjadi bagian dari kitab suci Hindu. Maka, mereka menolak eksistensi Budda Jawi Wisnu. Depag dan menyuruh penganutnya agar menganut Hindu saja karena memiliki kemiripan.

”Tentu jauh berbeda antara kepercayaan kami dengan Hindu. Bahasa doa, kami memakai bahasa Jawa. Interpretasi terhadap sosok Wisnu dalam kepercayaan kami juga berbeda dengan mereka,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: