Surat dari Ayah Kuatkan Mental Pato
Djoko Irianto menemukan tempat yang pas untuk kebutuhan pendidikan Pato: Pesantren Al Fatih di Bogor. Di sana, ia bisa memperdalam hafalan Alquran dan hadis sekaligus mengambil kejar paket setara SMP dan SMA. Kalau lancar, ia bisa kuliah di usia 13 tahun. Namun, konsekuensinya berat. Pato harus terpisah dari keluarga untuk kali pertama.
SEBELUM dikirim ke Bogor, Pato dan keluarganya menetap di Semarang pada 2016-2018. Ada kebun dan peternakan seluas 2 hektare di sana. Pato jadi anak alam. Membantu ayah membibit tanaman. Memberi makan bebek dan ikan di kolam.
Ia menempuh pendidikan kejar paket dan memperkuat hafalan Alquran di Pondok Roudlotul Usysyaqil di pinggiran Semarang. Hidup di tempat terpencil, justru membuat hubungan ayah dan anak semakin erat.
Di rumah itu, tetangga dan musala terdekat jaraknya 500 meter. Untuk sekadar beli garam, perlu berjalan jauh atau pakai sepeda motor. Tidak bisa pakai sepeda kayuh. Jalannya menanjak dan berbatu.
“Pasti bapak punya pistol. Kalau tidak, enggak berani tinggal di sini” kata Djoko menirukan omongan salah satu tetangganya, Rabu (20/10). Di hari pertama pindah ke Semarang, Djoko sudah dapat teror.
Mobilnya dipepet dua pengendara motor pada pukul 01.30 dini hari. Tepat di depan pagar seng kebunnya yang terletak di tengah hutan itu. Sebuah mobil berhenti di belakangnya. Mereka membuat formasi agar Djoko tidak bisa ke mana-mana.
Ia tidak menghiraukan mereka. Pintu mobil tidak dibuka. Istri dan kedua anaknya masih tertidur pulas. Setelah dua menit, mereka akhirnya pergi juga. Anak dan istri baru tahu setelah setahun tinggal di sana. Sengaja ia rahasiakan agar mereka tidak trauma.
Kata orang desa, lokasi tempat tinggalnya angker. Tidak ada yang berani lewat kalau malam hari. Banyak cerita mistis dan kejadian aneh yang dilaporkan warga. Tapi Djoko tak menghiraukan kisah itu.
Hewan liar dan berbisa banyak berkeliaran. Mulai kalajengking, kelabang, sampai ular. Kelabangnya jumbo. Bisa sampai 15 sentimeter. Ular jadi pemandangan lumrah. Ia pernah menemukan ular sepanjang 4,5 meter memangsa seekor bebek di kandangnya. “Kalau ular yang kecil, Pato berani pegang,” kata pensiunan PT Telkom Indonesia wilayah Surabaya itu.
Suasananya sangat mencekam kalau ada badai. Petir dan angin kencang menerpa keluarga kecil Djoko yang jauh dari tetangga. Kalau sudah mati lampu seisi rumah cuma bisa berdoa dan tidur sebisanya. Walau terkesan seram, semua anggota keluarganya kerasan. Termasuk Pato.
Namun, bocah dengan IQ 136 itu tidak bisa berlama-lama menemani sang ayah. Ia harus pindah ke Pesantren Al Fatih di Bogor saat kelas 8 SMP. Usianya 10 tahun saat itu.
Di Al Fatih, kemampuan Pato bisa lebih terasah. Reputasi pesantren yang ada di Hambalang, Bogor, itu sudah diakui. “Awalnya di Hambalang. Mulai tahun ajaran baru kemarin, pesantren pindah ke Situ Daun. Di Bogor juga,” lanjut pria dua anak itu.
Hari perpisahan itu akhirnya datang juga. Djoko dan keluarga mengantar Pato ke Bogor pada 10 Juli 2018. Ketika hendak meninggalkan Pato, tangis mereka pecah. Djoko menulis surat untuk menguatkan hati anaknya:
Hari ini kamu menangis, aku pun menangis. Ya, kamu mulai hari ini sudah masuk pondok, Nak. Pilihan terbaik yang ayah tahu. Kasih sayang bertemu dengan ketaatan, membuahkan kesedihan. Setidaknya itulah saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: