PCR Tetap Cocok Jadi Syarat Mutlak

PCR Tetap Cocok Jadi Syarat Mutlak

MANTAN Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti meminta harga PCR diturunkan sampai Rp 96 ribu. Seperti India. Sementara itu, Pengacara Muhammad Sholeh menggugat aturan yang mewajibkan penumpang pesawat domestik menjalani tes PCR.

Rupanya, ketentuan yang berlaku sejak Minggu (24/10) itu mendapat banyak penolakan dari masyarakat. Maklum saja. Pengetatan dilakukan saat jumlah kasus Covid-19 turun drastis.

Sholeh mengirim anak buahnya, Singgih Tomi Gumilang, ke Mahkamah Agung Kamis (28/10). Ia memohon uji materi tentang Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa - Bali.

Kewajiban PCR untuk penumpang pesawat domestik ada di ketentuan khusus halaman 10 huruf P ayat 2, halaman 17 huruf P ayat 2, serta Halaman 22 huruf P ayat 2. Selain wajib PCR, penumpang harus divaksin minimal sekali.

Sholeh juga mengajukan uji materi pada Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara juga ikut digugat.

Ia menilai logika hukum yang dipakai pemerintah dalam dua ketentuan itu keliru. Saat pemberlakuan PPKM level 3 dan 4, syarat naik pesawat adalah vaksin dosis pertama dan tes antigen. “Sekarang level satu. Sudah melandai, malah pakai PCR. Ada apa denganmu?” ujar Sholeh, kemarin (29/10).

Ia menduga ada kepentingan bisnis di balik penetapan aturan itu. “Jangan sampai cara ini hanya untuk menghabiskan stok PCR,” lanjutnya.

Penurunan harga PCR juga membuatnya bertanya-tanya. Awalnya harga PCR mencapai Rp 1 juta lebih. Lalu turun Rp 495 ribu, kini jadi Rp 275 ribu untuk Jawa-Bali. Di luar Jawa-Bali, harganya Rp 300 ribu. Sholeh heran mengapa laboratorium dan rumah sakit tidak protes dengan penurunan itu. Ia menyayangkan mengapa tes PCR jadi ladang bisnis di tengah bencana dunia.

Ia juga mempermasalahkan perbedaan aturan berdasar wilayah. Tes antigen masih bisa dipakai untuk luar Jawa-Bali. “Padahal, Covid-19 itu tidak mengenal wilayah. Mau di Papua atau Jawa, bahayanya sama,” ujar aktivis f’98 yang pernah ditahan di Penjara Kalisosok itu.

Menurutnya, screening di moda transportasi kapal laut dan kereta perlu lebih diperketat ketimbang pesawat. Sebab penumpang kapal dan kereta berada di ruangan yang sama selama berjam-jam. Bisa sampai seharian. Sementara pesawat lebih singkat. 

Namun aturan penumpang kereta dan kapal cuma diminta tes antigen. “Apa karena yang naik pesawat itu kalangan atas jadi aturannya dibedakan. Ini juga diskriminatif,” lanjutnya.

Sementara itu, Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo tidak setuju jika PCR dihapus dari persyaratan penerbangan. Malahan ia mengusulkan agar PCR juga diterapkan sebagai syarat transportasi umum lainnya. Alasannya darurat.

Menurutnya, kondisi Covid-19 yang melandai berdampak pada tingginya mobilitas masyarakat. Volumenya sudah melebihi saat sebelum PPKM darurat. Dan bakal lebih naik lagi pada libur natal dan tahun baru mendatang.

Bahkan menurut survei Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub), mobilitas masyarakat Jawa-Bali di perjalanan akan naik sekitar 19,9 juta. Sedangkan, Covid-19 belum benar-benar lenyap. Artinya, mobilitas tinggi berbanding lurus dengan meningkatnya risiko penularan.

“Prinsipnya, PPKM turun level berarti aktivitas makin longgar. Tapi, jangan lupa, semua orang masih bisa saling menulari. Jadi, tentunya PCR sangat perlu. Harus dipahami itu,” ungkap Windhu.
Petugas kesehatan, Kartiya Nur, memeriksa sampel hasil PCR Drive Thru di Jalan Biliton kemarin (29/10).
(Foto: EKO SUSWANTORO-HARIAN DISWAY)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: