Dasar Bocah, Adakan Tahlilan untuk Ular Mati
SUDAH banyak tanggapan positif untuk Kampung Lali Gadget. Semua didapat setelah mengalami bermacam dinamika. Testimoni baik itu datang dari berbagai kalangan. Terutama mereka yang sudah mencoba mengikuti kegiatan mereka.
Hal itu dirasakan sendiri oleh Achmad Irfandi sebagai penggagas. Kisah tersebut diceritakannya dengan ditemani Ridho Saiful Ashadi sebagai rekan yang mengelola KLG. ”Perangkat desa dan masyarakat akhirnya memahami bahwa KLG bisa memberikan dampak positif. Mereka perlu melihat dulu apa yang terjadi sehingga bisa benar-benar mengerti,” ujar Irfan.
Itu pula yang jadi pembakar semangat sehingga Irfan bisa terus termovitasi menjalankan KLG. Sejumlah anak kini punya kebiasaan baru selain bermain. Yaitu, meramaikan taman baca kecil yang letaknya berada di depan kediaman pribadi Irfan. Sebuah gubuk kecil berisi puluhan buku dari berbagai bidang kajian yang ternyata punya penggemarnya sendiri.
Kecanduan gadget memang memberikan dampak sangat luas bagi tumbuh kembang anak. Termasuk menurunnya daya baca. Padahal, Indonesia sudah berada di standar negara dengan minat literasi yang buruk. Hal itu bisa saja makin parah apabila tidak ada tindakan penanggulangan nyata.
Irfan tentu sudah paham betul akan fakta tersebut. Oleh karena itu, KLG turut menghadirkan budaya literasi. Bacaan datang dari berbagai pihak. Baik itu swadaya para panitia maupun donasi dari para komunitas dengan keinginan sama. Termasuk dari dinas perpustakaan setempat.
”Saya belum bisa menyebutnya sebagai perpustakaan atau taman baca. Kesannya kayak tempat yang besar sekali dengan buku lengkap. Sudut literasi kami cukup kecil. Bukunya pun terbatas. Tapi, ternyata di sana saya menemukan fakta-fakta unik sehingga memotivasi saya dan teman-teman untuk terus maju,” imbuhnya.
Sejumlah anak di sekitar Kampung Lali Gadget datang ke sudut literasi secara sukarela. Tanpa ada yang menyuruh, tidak ada program bacaan, dan fasilitasnya masih serba terbatas. Mereka tidak hanya membaca, tapi juga berkontribusi dalam perawatan. Terutama menata buku di rak, bersih-bersih, serta mengajak teman-teman yang lain.
Utamanya anak-anak balita. Mereka menganggap buku bukan sumber informasi, melainkan hanya mainan. Jadi, ada sebagian koleksi yang sudah dicoret-coret. Beberapa cuma dipakai mainan tumpuk-tumpukan dan dibuat seperti jembatan. ”Mungkin Dinas Perpustakaan akan marah kalau tahu ternyata buku yang disumbangkan ada yang bernasib seperti itu,” kelakarnya.
Namun, Irfan tetap menganggap itu sebagai kegiatan baik. Sebab, dengan cara itulah buku jadi dekat dengan anak-anak. Dengan demikian, pada masa mendatang, mereka lebih akrab dengan buku. Bukan gadget.
Firman Dayu bercerita kepada putrinya tentang dongeng binatang dari buku yang ada di Kampung Lali Gadget Wonoayu Sidoarjo (5/12). (Eko Suswantoro)
Irfan kemudian teringat seorang anak perempuan berusia 4 tahun bernama Sabrina. Ia yatim piatu, tinggal di dekat rumah Irfan. Ia cerita bahwa Sabrina stand by di sudut bacaan sejak pukul 06.00. Bahkan, ketika Irfan belum mulai beraktivitas.
Kemampuan membaca Sabrina pun masih sangat rendah. Jadi, Irfan dan Saiful mengetahui bahwa ia cuma berakting sedang membaca.
Ada pula anak-anak yang datang ke sana secara rutin ke sudut baca. Mereka tidak membaca buku. Tapi, berinisiatif bersih-bersih. Tak jarang pinjam sapu dan pengebut untuk bersih-bersih. Irfan melihat sendiri bahwa mereka melakukan semuanya secara swadaya. Sekelompok anak tersebut setiap hari melakukannya sampai sekarang.
Termasuk seorang anak kelas VI SD bernama Arga. Ia sering sekali datang ke sudut baca. Lalu, tiba-tiba berinisiatif bikin gubuk panggung baru berbahan bambu dengan bentuk yang kurang lebih sama dengan yang dibuat Irfan.
Arga pun mengajak teman-temannya membantu. Sekalinya ditengok, gubuk itu ternyata sudah jadi dan difungsikan sebagai ajang permainan. ”Bahkan, pemilik lahannya saja tidak tahu kalau ada anak-anak yang tiba-tiba bikin gubuk di sana,” kenang Irfan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: