After Life Season 3: Tiba-Tiba Hidup Tidak Terasa Pahit Lagi

After Life Season 3: Tiba-Tiba Hidup Tidak Terasa Pahit Lagi

Tony geleng-geleng kepala. ’’Orang itu, istrinya dirampok dan dipukul dengan palu sampai koma dua bulan. Dan dia kepingin masuk koran karena rembesan airnya membentuk muka Kenneth Branagh…’’

Kekuatan After Life kedua adalah filosofi dan pelajaran hidup yang kita dapat dari orang-orang di sekitar Tony. Salah satunya Anne (Penelope Wilton), janda yang juga ditinggal mati suami. Tony sering bertemu Anne di kuburan, ketika perempuan tua itu juga mengunjungi makam sang suami. Anne-lah yang selalu memberi tahu Tony. Bahwa hidup itu worth it.

Gervais, yang menulis, menyutradarai, dan memproduseri After Life, meramu dua elemen itu dengan sangat pas. Lucu, tapi juga pahit luar biasa. Bitter. Kadang nyesek. Banyak pelajaran hidup yang kita dapat, tapi disampaikan dengan cara yang satir dan mengejutkan. Rasanya seperti ditampol tepat di pipi.

Dari Anne (Penelope Wilton), Tonny mendapatkan banyak pelajaran tentang betapa pentingnya mencintai kehidupan.   

Lebih Bikin Depresi, Kurang Lucu

Nah, pada musim ketiga dan terakhir ini, nuansanya lebih bikin depresi. Narasumber-narasumber Tony tidak ada yang se-absurd dua season sebelumnya. Cerita-ceritanya malah menyedihkan. Salah seorang di antaranya adalah penulis yang menerbitkan sendiri novel-novelnya. Tidak ada yang beli. Tapi dia terus menulis, karena itu passion dia.

Tony masih kejam kepada semua orang. Terutama Matt, si adik ipar. Serta Emma (Ashley Jensen), mantan perawat ayah Tony di rumah jompo yang akhirnya dekat dengannya. Matt terlalu mengingatkan Tony pada Lisa. Sedangkan Tony mati-matian tidak mau jatuh cinta kepada Emma. Karena ia takut Emma menggantikan Lisa. Dan ia tak mau itu.

Kejamnya Tony kali ini terasa lebih pedih. Ia tidak mem-bully orang-orang terdekatnya untuk meluapkan kemarahan atas kematian Lisa. Ia jahat pada mereka karena ia berusaha mengingkari sesuatu yang menyedihkan. Alhasil, musim ketiga ini lebih sedikit membuat tertawa. Dan lebih banyak membikin depresi.

Gervais juga lebih banyak menyorot kehidupan orang-orang di sekitar Tony. Yang semuanya menyedihkan. Pat si tukang pos galau karena kekasihnya masih melacur. Kath si marketing gagal melulu dalam percintaan. Dan Brian, si stand-up comedian, masih sakit hati karena ditinggalkan istrinya demi seorang pria gipsi. Matt, sementara itu, terkena serangan jantung akibat keseringan menantang Tony berolahraga.

Hidup Tony tidak serta-merta berubah di musim ketiga. Namun, perlahan, ia semakin mampu menerima kematian Lisa. Dan berdamai dengan situasi. Tony—yang di musim kedua mem-bully anak SD—kini bisa bersikap hangat pada anak-anak penderita kanker yang ia liput.

Dan kalau ada perubahan paling besar di musim ketiga, itu adalah ketika Tony mulai peduli. Yang memberinya wake-up call, siapa lagi kalau bukan Anne. Dia bilang, ’’Kalau kamu mau jadi malaikat, jangan menunggu mati. Lakukanlah ketika kamu masih hidup. Jadilah orang baik. Dengan begitu kamu menjadi malaikat bagi mereka yang kamu tolong.’’

Tony juga akhirnya menyadari, bahwa aksi yang ia tunjukkan selama ini—setelah kematian Lisa—bukanlah kekuatan. ’’Aku pikir, menjadi enggak peduli itu adalah superpower. Aku salah. Peduli pada banyak hal, itu yang penting. Kebaikan. Membuat orang lain merasa happy. Itulah superpower yang sesungguhnya. Dan kita semua punya itu.’’

Tiba-tiba, hidup tak lagi terlalu pahit buat Tony. Juga buat kita semua. Seperti kata Anne, ’’Sains membuat kita memahami bagaimana caranya hidup lebih lama. Perasaan memberi kita alasan untuk ingin hidup lebih lama.’’ (Retna Christa)

TAK LAGI merundung, Tony justru tergerak untuk membantu Kath (Diane Morgan), teman kantornya yang selalu kesulitan mendapatkan pasangan hidup.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: