Warisan Catatan Gambarkan Masa Silam

Warisan Catatan Gambarkan Masa Silam

Tok Su Kwie adalah sehu yang hidup bersahaja. Warisan terbesarnya bukan harta benda. Tetapi kiprah seni yang tercatat secara rapi. Hingga kini.

’’BUKU-buku sejarah’’ itu tersimpan di ruang tengah Museum Potehi Gudo. Ruangan yang pintunya berlapis dua. Yang di dalamnya ada brankas besi hitam, ratusan boneka potehi kuno dengan bajunya, plus ratusan kepala boneka potehi yang tertata rapi pada lemari kayu yang tertempel di dinding. 

Tentu, buku sejarah itu bukanlah buku pelajaran seperti punya anak-anak sekolahan. Tetapi segala arsip tentang perjalanan Kelenteng Hong San Kiong, Gudo. Juga perjalanan Fu He An, kelompok wayang potehi milik Tok Su Kwie.

’’Semua tercatat rapi. Administrasi kelenteng memang cukup baik sejak tahun 1920-an,’’ kata Toni Harsono, cucu Tok Su Kwie.

Ia lantas menunjukkan buku album yang menyimpan dokumen-dokumen lawas tersebut. ’’Dari situ, saya melihat tanda tangan kakek saya,’’ katanya.

Tanda tangan Tok Su Kwie itu ada dalam arsip notulen kegiatan kelenteng pada 1935. Dengan catatan sejarah yang cukup komplet itu, tentunya mudah melacak jejak kiprah Tok Su Kwie, dalang wayang potehi kondang pada zamannya.

Kerapian pengarsipan itulah yang rupanya menitis pada Toni sampai sekarang. Ia begitu tekun mengumpulkan jejak demi jejak kakek dan ayahnya. Yang dikumpulkan bukan cuma catatannya. Tetapi juga segala pernik-pernik tentang wayang potehi, kesenian tradisional yang mulai ditinggalkan. Toni-lah yang berjuang agar wayang potehi tidak sampai mati.

’’Ini saya simpan semua. Gini-gini harus diperhatikan. Kalau nggak, bisa hilang,’’ ucap Toni sambil mengeluarkan boneka-boneka wayang potehi dari brankas hitam di sudut selatan ruang museum tersebut.

Satu per satu, Toni mengeluarkan harta yang lain: buku-buku. Yang istimewa adalah buku besar bersampul cokelat tua. Tampak sangat usang. Pinggiran sampulnya geripis dimakan usia. Di beberapa tempat, sampul itu juga mengelupas.

Kertas buku itu buram. Kertas buram. Dluwang, kata orang Jawa. Biasanya, dluwang dibuat dari merang atau batang padi. Tetapi, Toni tidak menyebutkan dengan terang jenis kertas itu.

Buku itu terasa ’’mengenaskan’’. Jilidannya sudah banyak yang lepas. Kertasnya juga geripis. Ada yang sobek di sana-sini. Namun, isinya masih sangat jelas terbaca. Kalau orang mengerti bahasanya. Kalau orang mengerti aksaranya.

’’Ini cerita tentang kisah-kisah wayang potehi. Tapi pakai hanacaraka,’’ ujar Toni sambil menunjukkan halaman demi halaman buku berhuruf Jawa itu.

Selain tulisan, buku itu juga berisi gambar tokoh-tokoh cerita kepahlawanan Tiongkok. Sama seperti tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam lakon wayang potehi. ’’Abah Dahlan (Dahlan Iskan, founder Harian Disway, Red) pesan agar buku ini jangan sampai hilang. Harus dijaga,’’ ujar Toni.

Pintu tiga lapis di ruangan paling utara di Museum Potehi Gudo.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Buku-buku lain tak kalah dahsyat. Buku tulis bersampul ungu. Isinya tulisan tangan. ’’Nah, ini tulisan ayah saya,’’ ujar Toni. Ia menunjuk pada tulisan tangan dengan bolpoin pada buku tersebut.

Isinya adalah su lam pek alias suluk pada lakon wayang potehi. Berbahasa Hokkian. Suluk itu masih tetap dipertahankan oleh dalang-dalang zaman sekarang. Walaupun, mungkin cara pengucapan dalang-dalang masa kini itu berbeda dengan bahasa Hokkian yang sampai sekarang masih dipakai di Fujian sana. ’’Bisa saja orang sana berpikir, ’Iki ngomong opo se?,’’ ucap Toni lantas tertawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: