Bubur Terakhir Tok Su Kwie
Menjadi dalang wayang potehi adalah sebuah pekerjaan bakti. Tidak sekadar berbakti kepada seni. Tetapi, lebih dari itu, adalah bakti kepada Yang Mahakuasa melalui pertunjukan yang dipersembahkan untuk pada dewa. Karena itu, hidup dalang wayang potehi adalah hidup yang bersahaja. Termasuk hidup Tok Su Kwie.
BERBAGAI catatan menunjukkan bahwa wayang potehi dari Kelenteng Hong San Kiong, Gudo, Kabupaten Jombang, sudah cukup terkenal pada zamannya.
Mengusung panji-panji kelompok Fu He An, sehu (dalang) Tok Su Kwie pun kerap diundang untuk bermain di sejumlah kota. Ia mengunjungi berbagai daerah, memainkan kesenian yang lahir dari kota Quanzhou, Fujian, tersebut. Di Kediri, Blitar, atau Tulungagung. Yang sempat tercatat dalam sebuah gambar di Universitas Leiden, Belanda, adalah ketika Fu He An (artinya rezeki dan keselamatan) tampil di Surabaya pada 1930-an. Gambar itu ada dalam kalender bertahun 1933.
Mengutip buku Toni Harsono, Maecenas Potehi dari Gudo, tulisan Hirwan Kuardhani pada 2011, Tok Su Kwie hidup bersahaja. Tidak bermewah-mewah. Sebab, wayang potehi memang bukan untuk mencari uang. Sebab, tujuan utama wayang potehi sejatinya adalah sarana beribadah, cara untuk mengucapkan syukur kepada para dewa.
Ya, wayang potehi adalah bentuk pertunjukan agar para dewa merasa gembira dan terus mengulurkan berkatnya untuk para umat. Dan sejatinya, itulah yang bisa membuat kesenian wayang potehi bisa tetap lestari hingga kini. Karena, wayang potehi adalah bagian dari ritual peribadatan di kelenteng.
Dengan kata lain, menjadi seorang dalang bukanlah mata pencaharian. Bukan profesi yang punya jenjang karir. Menjadi dalang adalah membaktikan diri.
Dalam hidup yang sederhana itu, Tok Su Kwie harus menghidupi Djwa Twe Nio, istrinya, dan tiga anaknya. Tiga anak itu adalah Tok Kwim Hwa (Hartatik), Tok Giok Lan (Sumiatun), dan Tok Hong Kie.
Anak yang bungsu adalah lelaki. Bisa jadi, dalam sebersit keinginan di hatinya, Tok Su Kwie ingin menurunkan keahliannya mendalang kepada si anak.
Menjadi dalang yang memimpin sebuah grup wayang, berarti Tok Su Kwie juga harus ’’menjamin’’ kehidupan para krunya. Secara tidak langsung, hidup para kru bergantung kepada sang dalang. Salah satu kru itu adalah Tan Hing Gie, pemusik yang juga hijrah dari Fujian bareng Tok Su Kwie.
Karena itu, sebagaimana Tok Su Kwie, para kru itu juga punya kegiatan lain. Usaha sampingan. Sekadar untuk mengepulkan asap dapur. Mereka berdagang, bertani, dan beternak. Mereka gigih berkat spirit hidup kaum perantau. Yang hijrah dari kampung halaman nun jauh di sana, di sisi tenggara Tiongkok, menuju pedalaman Gudo. Yang pada 1920-an itu tentu masih jauh dari pusat kota.
KEPALA-KEPALA boneka wayang potehi yang disimpan Toni Harsono di Museum Potehi Gudo, Jombang.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)
Dalam hidup yang bersahaja itu, Tok Su Kwie tak pernah surut semangatnya untuk mendalang. Hingga akhir hayatnya…
Berdasar kisah dalam buku tersebut, pentas terakhir Tok Su Kwie adalah di Tulungagung. Saat itu, sesungguhnya beliau agak kurang sehat, namun mendalang potehi baginya adalah kewajiban beribadah, bukan sekadar mencari uang. Kalimat itu dikutip di halaman 25 buku yang menuliskan sejarah hidup Toni tersebut.
Tok Su Kwie mendalang selama beberapa hari di Tulungagung. Setelah itu, ia minta dibuatkan bubur dengan lauk telur asin. Itu memang makanan kegemarannya.
Tetapi, Yang Mahakuasa ternyata lebih cepat menjemput Tok Su Kwie. Sebelum bubur itu matang, Tok Su Kwie sudah mengembuskan napas penghabisannya.
’’Kakek saya meninggal sekitar tahun 1940-an. Papa saya lahir pada 1937. Jadi, saat papa masih kecil, kakek saya sudah meninggal,’’ kata Toni Harsono, cucu Tok Su Kwie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: