Ketimpangan dan Keberpihakan

Ketimpangan dan Keberpihakan

-Ilustrasi: Gambareza-

PROBLEM ketimpangan masih menjadi persoalan serius. Meski menurun, tingkat ketimpangannya masih cukup tinggi. ketimpangan pengeluaran, misalnya, yang diukur dengan rasio gini. Rasio gini masih berada di 0,381 (September 2021). Hanya menurun 0,004 basis poin dari setahun sebelumnya. 

Bahkan, di kota angkanya masih cukup tinggi, yaitu 0,398. Jauh lebih tinggi daripada ketimpangan di desa yang rasio gininya 0,314. Bahkan, beberapa kota masih di atas 0,4. Jogjakarta, provinsi dengan ketimpangan tertinggi, mencapai 0,436 dan DKI Jakarta 0,411. Gorontalo dan Jawa Barat juga cukup tinggi, 0,409 dan 0,406. 

Rasio gini adalah suatu angka yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran. Nilainya antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan ketiadaan ketimpangan dan 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.

BACA JUGA:Surabaya Tanpa Gerakan

Ketimpangan pengeluaran ini tak lepas dari ketimpangan-ketimpangan lain. Pada penguasaan asset atau kekayaan, misalnya.  Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin. Menurut survey mereka, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Bahkan, 10 persen orang terkaya menguasai  75,7 persen kekayaan nasional. 

Kondisi ini membuat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di urutan keenam terburuk di dunia, sebagaimana  dilaporkan dalam survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse pada Januari 2017.

Ketimpangan juga tampak pada penguasaan tanah. The Institut for Global Justice (IGJ) mencatat, 175 juta hektare atau sekitar 93 persen daratan dikuasai oleh pemodal swasta/asing. Sebanyak 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen lahan. Hal yang sama terungkap dari penelitian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang mencatat bahwa 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batub ara.

Problem ketimpangan ekonomi itu tampaknya sudah sangat serius. Hal ini tidak dapat diselesaikan dengan langkah parsial-parsial, seperti redistribusi lahan sebagaimana yang telah dilakukan. Harus ada langkah komprehensif untuk mengatasi ketimpangan pendapatan, penguasaan lahan, dan penguasaan aset ekonomi secara keseluruhan. Tentu saja, hal itu semua harus disusun dengan memperhatikan lebih dulu akar dari ketimpangan ekonomi. 

 

Perlu reorientasi pembangunan

Apa sebenarnya penyebab ketimpangan ekonomi? Pertama, fundamentalisme pasar yang mendorong orang kaya meraup keuntungan besar dalam perekonomian.  Selama ini, pemerintah lebih banyak menyerahkan urusan ekonomi kepada pasar, dengan pandangan bahwa pasar memiliki kemampuan self regulating dan self controlling. Nyatanya, free competition dan market fundamentalism telah mendorong pelaku pasar yang kuat untuk mendistorsi pasar sehingga memperoleh keuntungan yang besar. 

Kedua, orientasi pemerintah yang hanya pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, trade off dari pertumbuhan adalah pemerataan. Ini karena, orang-orang miskin berada pada sektor pertanian yang kontribusinya terhadap ekonomi (PDB) tidak terlalu besar (16 persen). Pemerintah lebih mementingkan sektor yang memiliki kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi, yaitu industri dan perdagangan. Kebijakan ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati “kelas atas” saja, sehingga justru membuat ketimpangan semakin lebar.

Ketiga, political capture yang kuat, di mana orang-orang kaya mampu memengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka. Ini terlihat dari banyak terungkapnya KKN antara pengusaha, eksekutif, dan legislatif, seperti kasus e-KTP, UU Minerba, impor daging, dan sebagainya. Keempat, ketimpangan infrastruktur antara di kota dan desa yang menyebabkan high cost economy di pedesaan dan daerah terpencil. Kelima, sistem perpajakan yang tak mampu meredistribusi kekayaan. 

Disparitas kekayaan antara si kaya dan si miskin itulah yang harus dicarikan solusi menyeluruh. Kebijakan ekonomi harus diarahkan pada tujuan mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial dengan memberikan keberpihakan kepada ekonomi masyarakat (umat). Paradigma ini, tentu, merupakan suatu antitesis dari kebijakan ekonomi pemerintah selama ini yang lebih berpihak pada pengusaha besar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: