Menuju Indonesia Merdeka 100 Persen; Tidak Cukup Berubah tapi Berbenah
Semarak merayakan HUT ke-77 RI yang selalu dihelat penuh hikmat di lorong-lorong perkotaan maupun kampung-kampung perdesaan. Seperti Lomba Perahu Layar di Pantai Kenjeran, Surabaya.--
Kemerdekaan tentu bukan sekadar kebebasan dari penjajahan Londo yang kelunto-lunto dan Jepang yang mati nggelempang. Merdeka secara hakiki yang sudah diperankan dalam negara seyogianya merembes ke dalam jiwa setiap warganya.
Kemerdekaan merupakan jembatan pemulihan rakyat yang kehilangan kerakyatannya. Tanyakan tanah lapang Indonesia ini banyak dikuasai siapa? Apakah nenek moyang mereka ikut berjuang? Siapakah penyedot kekayaan alam Indonesia? Adakah leluhurnya turut dipersaksikan Tan Malaka bergulat melawan penjajah?
Sudahlah. Apakah para pembaca sudah merdeka? Kemerdekaan macam apa yang telah saudara rasakan? Kapankah Anda semua merasa merdeka? Dalam hidup ini kita bergaul dalam setiap deret waktu, bergumul di jalan, di kantor, di rumah, dan di kampung-kampung halaman.
Apakah memang kita telah memiliki dan merasakan bahwa kita telah merdeka? Kita terkadang meraba-raba ke kedalaman pikiran dan hati guna menemukan kenyataan bahwa masih banyak atau memang seluruh sesi kehidupan rakyat belumlah merdeka.
Tekanan-tekanan ekonomi dan ketidakcukupan dalam mengemban perjalanan hidup merupakan belenggu yang belum pernah dibebaskan oleh negara. Tingginya biaya persekolahan di perkotaaan dan harga-harga di pasaran yang terus membubung naik telah membelalakkan mata bahwa merdeka itu menyisakan tanda tanya.
Merdeka bagi saya adalah pembebasan dari penderitaan. Sudahkah Anda terbebaskan dari kezaliman derita ekonomi, politik, sosial, dan budaya?
Banyak di antara kita yang secara berkelompok dan bergerombol belum mampu membebaskan diri dari "orde pemayung investor” yang kerap “menguruk dan membangun laut” baru mengurus persyaratan hukumnya?
Tekanan-tekanan psikologis yang setiap saat bisa dirasakan oleh siapapun berarti dia belum merdeka. Lantas kemerdekaan macam apa yang telah kita dapatkan di usia 77 tahun NKRI?
Kemerdekaan bernegara memang iya dapat dirasakan pada wilayah politik. Itu dulu sebelum "politik” dijadikan ajang "meninabobokkan rakyat” atas nama demokrasi. Dan pada skala kecil yang amat personal, ada yang belum merdeka 100 persen. Bahkan 77 persen pun belum.
Apalagi dalam ontran-ontran OTT yang marak melibatkan politisi dan jajaran birokrasi. Para tokoh pemerintahan di Pemalang semakin kentara berperan menjadi ”tukang pungut.”
Justru di beranda jelang peringatan HUT RI tahun 2022: adakah mereka merdeka untuk korupsi atau merdeka "memalak dana rakyat”?
Kasus OTT KPK memberikan pelajaran dan informasi yang nggegirisi. Begitukah "karier politik dan birokrasi” harus diwarnai? Semua jabatan sepertinya sedang disaranakan menjadi kalkulasi uang, uang, dan uang, mumpung belum gowang (ompong kuasa).
Sungguh ada virus besar yang membahayakan negara yang namanya virus aji mumpung, virus mumpung kuasa, virus mumpung menjadi pemegang wewenang, termasuk kepala apa pun. Kepala lembaga atau sekadar kepala bagian atau kepala seksi atau kepala sub-bagian lainnya. Adakah mumpung itu merupakan "ajian azimat” yang direstui rakyat? Akhirnya rakyatlah jua yang memanen kebijakan mumpung yang jauh dari kebajikan.
Mari Berbenah
Kalaulah itu yang terjadi di tengah-tengah kemajuan bangsa untuk mengisi ”jembatan emas” yang namanya merdeka, lantas apa yang bisa diperbuat?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: