Catatan dari Pameran Seni Lukis Nasional ”Bias Borneo” (1); Kulturistiwa: Bias Borneo
--
Seni bisa berfungsi untuk seni (‘le art pour ‘le art). Seni bisa pula untuk masyarakat (‘le art pour engage). Maka Bias Borneo merupakan medan pertemuan karya-karya seni rupa anak bangsa yang sejajar dalam satu garis Kulturistiwa. Satu garis penghubung, pengikat berbagai macam kultur dalam satu negara yang dilalui garis Khatulistiwa ini.
Tidak sekadar menawarkan pandangan secara bias sebuah kultur atau budaya yang bersifat lokalitas. Tetapi bagaimana masuk dunia global dengan semangat lokal.
Kalimantan hari-hari ke depan adalah sebagai Ibu Kota Negara kita. Bukan tidak mungkin, kota-kota di Kalimantan juga tumbuh seni dan budayanya. Pusat-pusat kegiatan seni akan tumbuh dan menjadi pusat kebudayan negara ini.
Tentu saja, mau tak mau, seni rupa menjadi bagian penting. Inilah tantangan kawan-kawan IPKS dan komunitas-komunitas seni yang lain di Kalimantan Selatan, seperti Sanggar Sholihin dan lain sebagainya.
Bagaimana membangun komunitas seni rupa sekaligus menghidupkan kegiatan-kegiatan pameran. Bagaimana karya seni kemudian mampu berdampingan dengan ilmu pengetahuan yang lain. Karena ini akan saling terkait agar tidak menjadi seni yang monoton.
Yaksa Agus di tengah-tengah lukisan yang dipajang dalam Taman Nasional Kalimantan Selatan.
Dalam setiap karya seni mulai diletakkan jiwa -kalau kata S. Sudjojono disebut jiwa ketok (jiwa yang tampak)- agar karya mampu menjadi penanda, memiliki sifat dokumentatif, dan menjadi perbendaharaan baru.
Tentu bukan sekadar merasa puas dengan ”sold out” tapi ada yang jauh lebih penting yakni memperjuangkan ”soul out”.
George Dicky dalam Aestetice An Introduction pernah menggagas bahwa sesuatu dinilai atau tidak mengandung nilai seni, tergantung pada evaluasi nilai. Sebuah karya seni (dalam pengertian kualifikasi) adalah artefak: kemudian beberapa orang yang bertindak atas nama institusi sosial memberikan kandidat status untuk sebuah apresiasi.
Jadi dari sinilah akan terjadi evaluasi. Suatu institusi atau masyarakatlah yang memberikan status pada sesuatu bisa dianggap sebagai seni atau tidak. Pandangan ini sesungguhnya masih menyisakan pertanyaan besar dan permasalahan.
Namun persoalan ilusi estetis memang tidak bisa sepenuhnya lepas dari evaluasi institusi. Bukankan setiap karya seni sebetulnya telas melepaskan diri dari ususan ”material” dan telah berdiri sendiri menciptakan citra, akan bertemu dengan dunia logika, sensasi, harapan-harapan dan berhadapan dengan imajinasi kolektif masyarakatnya.
Di sini, TBKS dan IPKS setidaknya sudah menyediakan peluang bagaimana pola, citra, harapan, dan segala sensasi yang tercipta mampu menggemakan persoalan dan tawaran untuk saling menghargai keberagaman dan bersatu dalam keharmonisan.
Secara umum konsep besar pameran ini ditawarkan oleh panitia, diikat dalam bingkai besar Bias Borneo.
Di sini kita bisa berapresiasi, bertualang dalam kembara artistik dan estetik. Kita dapat mengeja berbagai kecenderungan dan gaya, serta beragamnya latar belakang para perupa yang tampil di pameran ini. ”Sebab kini apa pun bisa menjadi wacana...sebuah permainan tanda yang tanpa akhir,” (Jacques Derrida).
Semua bisa mengeja dengan pemahaman masing-masing, tanpa akhir.
Kata ”bias” bisa memiliki banyak makna. Dalam seni rupa, bias bisa dimaknai sebagai dua konsep yang berjalan bersama. Seperti yang diutarakan oleh Deleuze dan Guttari bahwa seni harus dibangun dengan perpaduan antara dua kutub yakni regresi (masa lalu) dan prospektif (masa depan).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: