I Made Duatmika dalam Ya’tra Art di Mola Art Gallery; ’Membunuh Hiranyakasipu’ Versi Masa Kini
I Made Duatmika diapit dua karyanya yang dibawanya dalam Ya’tra Art di Mola Art Gallery yang berjudul Breakfast (kiri) dan Dinner.--
CIMAHI, HARIAN DISWAY - Dalam konsep ya’tra, mendalami filsafat akan berujung pencapaian estetik. Salah satu bentuknya laksana perjalanan Batara Wisnu dalam tiap Awatara-Nya ke dunia. Untuk pameran Ya’tra Art di Mola Art Gallery (MAG) bersama Galung Wiratmaja, I Made Romi Sukadana, Made Wiradana, dan Putu Sudiana, I Made Duatmika memaknai ya’tra itu dalam karyanya.
Buat Made, saat owner MAG Mola mengajaknya berpameran berlima dalam Ya’tra Art, maka inilah kesempatannya untuk memaknai ya’tra sebagai proses perjalanan para perupa Bali yang menampilkan karakter masing-masing di tanah Sunda.
Tak sekadar proses perjalanan dan pindah ruang pamer saja. Baginya, judul Ya’tra Art yang digagas kurator pameran Anton Susanto memiliki makna sangat luas.
Narasimha Awatara.
Memang terdapat hal-hal yang dianggap remeh. Namun justru berguna bagi kesadaran spiritual. ”Apalagi dalam masalah-masalah yang berskala lebih besar. Butuh proses, butuh perjalanan panjang untuk menyelesaikannya. Itu berlaku untuk banyak hal,” ungkapnya.
Made memberi contoh beberapa masalah dalam lingkungan rumahnya lewat karya yang ia pajang di dinding galeri yang berlokasi di Griya Cahaya Asri Cipageran N23, Cimahi. Berjudul Breakfast, Dinner dan Nine Cats, Made ’cuma’ bicara tentang kucing.
Orang menganggap kucing sebagai hewan yang lucu dan jinak. Begitu pula objek-objek kucing dalam karya-karya Made. Terlihat simpel, dengan gaya ekspresif, penuh tarikan garis membentuk citraan kucing yang terdeformasi. Warna-warna spontan yang saling berkelindan menguatkan komposisi karya.
Nine Cats, lukisan I Made Duatmika yang terinspirasi oleh kucing yang justru tak disukainya. -MOLA ART GALLERY untuk Harian Disway-
Kesannya, Made penyuka kucing. Padahal ia dan istrinya justru sebaliknya. Tiga lukisan itu justru gambaran pengalaman pribadinya. Rasa tak suka pada kucing disalurkan lewat garis tajam dan warna-warna ekspresif. ”Kami sering direpotkan dengan kucing-kucing tetangga yang mampir ke rumah. Ya mencuri makanan, beranak-pinak di plafon. Aduh, ampun,” katanya.
Jika istrinya terang-terangan meluapkan kemarahannya, Made tak tega jika melampiaskan amarahnya pada hewan itu. ”Mereka binatang, tahu apa? Jadi marahnya saya lampiaskan ke kanvas. Jadilah objek-objek kucing itu,” tuturnya.
Pengalaman itu adalah salah satu ya’tra baginya. Perjalanan mencapai cita-cita, mencapai spiritualitas dan segalanya harus dijalani dengan lelaku atau ya’tra.
Pun demikian ketika ia mencoba mengendalikan amarah. Rupanya, semua gejolak yang mengendap dalam batin, dapat disalurkan dalam karya. Lewat melukislah ia menemukan ketenangan, kesabaran, dan pengendalian diri.
Melalui karya-karya lain, seperti seri Awatara Wisnu, Made mengungkapkan dengan lebih gamblang tentang konsep ya’tra. Persoalan yang dikemukakan pun lebih besar. Yakni masa lalu dan masa kini sebagai sebuah dialektika yang saling berhubungan.
Dalam agama Hindu dikenal berbagai siklus zaman. Mulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga hingga Kali Yuga. Tiap siklus mengalami berbagai bentuk kekacauan dan ketidakseimbangan semesta akibat pengaruh orang-orang jahat. Jika dunia telah mengalami puncak kekacauan total, saat itulah Batara Wisnu menjelma menjadi Awatara. Penjelmaan-Nya ada dalam tiap zaman tersebut.
Segala yang dilakukan Batara Wisnu merupakan ya’tra. Sebuah perjalanan penjelmaan untuk menata tiga dunia. ”Dalam tiap kisah Awatara, masih relevan dengan konteks saat ini,” ujar perupa 52 tahun itu.
Seperti sekarang. Kacau. Banyak orang terprovokasi ujaran kebencian, hoax dan ambisi-ambisi sekelompok orang yang merugikan alam maupun masyarakat. Menurut Made, dunia saat ini memerlukan sosok yang mampu membawa perubahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: