Dilema Lesti Kejora, Antara Gugat dan Damai

Dilema Lesti Kejora, Antara Gugat dan Damai

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Jadi, KDRT antara ada dan tiada. Polisi belum menetapkan tersangka. Meski alat bukti hukum sudah cukup (berdasar KUHAP, minimal dua alat bukti yang kuat).

Terus, apakah perkara itu bakal dihentikan meski statusnya sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan? Jawabnya, bergantung hasil penyidikan polisi. 

Sedangkan penyidikan polisi, jika sudah dinyatakan terbukti KDRT, masih juga bergantung pada pelapor (Lesti Kejora). Dilanjut atau tidak. Seandainya pelapor mencabut laporan, lalu berdamai, perkara ditutup. Sebab, KDRT tergolong delik aduan.

Pasal 75 KUHP menyatakan, penarikan kembali pengaduan atas suatu delik dapat dilakukan paling lambat tiga bulan setelah diajukan (dilaporkan). Apabila tenggat terlampaui, pencabutan aduan tidak bisa lagi dilakukan.   

Lesti punya hak menghentikan perkara.

Sungguh rumit. Konflik suami istri, suatu cobaan hidup berat bagi para pihak. Apalagi, Rizky-Lesti sudah dikaruniai anak, yakni Muhammad Leslar Al-Fatih Billar. Kini usia 8 bulan.

Seumpama Lesti meneruskan perkara itu, hampir pasti mereka bercerai. Hak asuh anak hampir pasti jatuh pada ibu. Apalagi, KDRT ayah terhadap ibu. 

Setelah cerai, status Lesti janda. Status yang dihindari wanita jika tidak karena sangat terpaksa.

Seandainya menghentikan perkara itu, mungkin dia juga ngeri (jika laporan polisi Lesti, benar-benar terjadi, bukan bohong). Bagaimana mungkin, dia bisa menahan semua itu kelak?

Itu suatu pilihan hidup yang rumit bagi korban.

Louise Robinson dan Professor Karen Spilsbury dalam buku mereka, Systematic review of the perceptions and experiences of accessing health services by adult victims of domestic violence (2008), menjelaskan bahwa tidak gampang buat wanita korban domestic violence (KDRT) membawa perkaranya ke ranah hukum.

Buku itu ditulis berdasar hasil riset mereka di Amerika Serikat (AS). Para korban KDRT di sana tidak langsung lapor polisi. Tetapi, diawali lapor ke lembaga healthcare professionals (HCP). 

Di HCP korban didampingi dan diterapi pakar psikologi. Korban diberi saluran peluapan emosi jiwa. Menceritakan semua detail KDRT. Psikolog mendengarkan dengan cermat. Lantas, psikolog memberi advis sampai pendampingan.

Setelah pendampingan, keputusan terserah kepada korban, apakah perkaranya diteruskan ke polisi atau berhenti sampai di situ. Kalau ke polisi, otomatis pasutri bercerai. Pelaku KDRT dihukum sangat berat.

Sebaliknya, kalau stop, korban kembali ke suami. Serumah lagi. Dengan risiko, bisa terjadi KDRT baru suatu saat kelak. Sebab, disimpulkan, mayoritas pelaku KDRT mengulangi KDRT-nya sepanjang hidup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: