Masih Perlukah Kuliah Bahasa Inggris?
Mohamad Noor Andryan--
Saat awal saya kuliah Bahasa Inggris, banyak yang nyeletuk: Ngapain sih kuliah Bahasa Inggris. Toh, bisa dipelajari tanpa kuliah.
Banyak orang berpendapat bahwa kuliah Bahasa Inggris itu nanggung. Pendapat ini muncul karena jurusan lain juga mewajibkan mahasiswanya untuk menguasai Bahasa Inggris. Lalu untuk apa ada prodi Bahasa Inggris, jika semua orang wajib menguasainya?
FYI, saya kuliah pada prodi Bahasa Inggris Politeknik Negeri Malang. Terhitung sejak 10 Juli 2019.
Kenapa saya ambil Bahasa Inggris? Karena inilah jalan ninjaku: ninja versi saya tidak suka hitung-hitungan. Di awal kuliah, sempat muncul juga perasaan was-was tentang masa depan setelah lulus.
Setelah menjalani perkuliahan, ternyata banyak sekali ilmu yang didapat. Mungkin karena saya masuk Prodi Bahasa Inggris untuk Komunikasi Bisnis dan Profesional. Tidak sekedar belajar bahasa asing.
Saya berdiskusi soal keresahan itu ke dosen pembimbing akademik: Nugrahaningtyas F.A. Dia sudah menjadi dosen selama lima tahun. Tergolong masih muda di antara dosen lainnya.
Kami ngobrol secara virtual lewat zoom: dari Surabaya ke Malang. Menurutnyi, orang yang menggeluti dunia bahasa itu sensitivitas bahasanya lebih baik jika dibandingkan dengan orang yang belajar bahasa serta belajar hal lainnya.
Hal ini lah yang menjadi perbedaan dari mahasiswa Bahasa Inggris dengan mahasiswa jurusan lain.
Bu Dosen Bilang Begini:
Bedanya apa antara mahasiswa yang benar - benar menekuni Bahasa Inggris dengan mahasiswa lain yang mendapatkan mata kuliah Bahasa Inggris sebagai suplemen pada jurusannya? Pertama yaitu sensitivitas bahasanya. Kedua yaitu penyusunan, pemolesan, dan pemilihan kata dalam berkomunikasi lebih baik dari mahasiswa yang hanya mendapatkan mata kuliah Bahasa Inggris dalam perkuliahannya,”
Dalam hal ini, mahasiswa Bahasa Inggris diunggulkan karena sensitivitas dan pemilihan kata yang lebih baik dari mahasiswa jurusan lainnya.
Bahasa tidak bisa dikuasai jika tidak diimplementasikan. Nah, mahasiswa Bahasa Inggris harus menggunakan bahasa asing di semua pembelajarannya. Ini juga menjadi pembeda dengan jurusan lain yang cuma mewajibkan Bahasa Inggris sebagai syarat kelulusan.
Syarat itu ditempuh dengan Test of English for Foreign Language (TOEFL) atau Test of English for International Communication (TOEIC). Apakah tes itu menjamin kemampuan berbahasa Inggris?
Anda sudah tahu jawabannya: tentu itu bukan jaminan. Semua dikembalikan ke masing-masing mahasiswa. Kemampuan berbahasa bisa luntur apabila tidak dipraktikkan.
Balita bisa lebih fasih berbahasa Inggris karena mereka memakai bahasa itu setiap hari bersama native speaker. Sedangkan yang mempelajari bahasa secara tekstual dan tidak pernah mempraktikkannya bakal kesulitan menguasai bahasa itu.
Itulah mengapa muncul kampung Inggris di Pare, Kediri. Semua kegiatan di sana wajib pakai Bahasa Inggris. Banyak lulusan Pare yang melanjutkan studinya dengan mengambil Bahasa Inggris.
Pendalaman bahasa didapat di perkuliahan. Bahasa begitu luas sehingga memiliki banyak cabang ilmu.
Jika muncul pertanyaan masih relevankah kita kuliah Bahasa Inggris, mungkin ada pertanyaan lain yang lebih menggelitik: Masih relevankan kita kuliah Bahasa Indonesia? Toh kita sudah bisa berbahasa Indonesia.
Namun, setelah mempelajari Bahasa Indonesia, mahasiswa bakal menyelami samudera ilmu yang begitu luas.
Pekerjaan sebagai editor bahasa di media massa banyak diisi lulusan bahasa Indonesia. Mereka membutuhkan kemampuan berbahasa Indonesia tingkat tinggi. Mereka juga harus memiliki logika kuat untuk menelaah kalimat-kalimat yang mbulet, tidak runtut, tidak logis, atau tidak baku.
Tentu translator atau editor Bahasa Inggris perlu kemampuan lebih berat. Selain menguasai semua kemampuan itu dalam bahasa asing, mereka juga harus paham idioms yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiah ke Bahasa Indonesia.
Salah satu contohnya “break a leg”. Idiom itu kalau diartikan mentah-mentah artinya mematahkan kaki. Padahal artinya: semoga beruntung.
Kalimat tersebut berasal dari tahun 1500 an, ketika ada sebuah pertunjukan, penonton menghentak-hentakkan kursi ke lantai untuk memberikan apresiasi. Bahkan sampai kaki kursinya patah. Dari sana lah timbul ungkapan, “break a leg”.
Atau film Ngeri-Ngeri Sedap yang kalau dibahasa Inggriskan secara brutal jadi: Deliciously Scary. Namun rupanya film versi Bahasa Inggrisnya diberi judul Missing Home. Mengapa begitu? Karena tidak Ngeri-Ngeri Sedap adalah idiom yang tidak ada di Inggris.
Nah, Setelah 3 tahun berkuliah, banyak mata kuliah baru yang saya dapatkan. Mata kuliah tersebut dapat menambah pengetahuan baru bagi saya seperti English for Marketing, English for Journalism, Japanese for Business, dan English for Business Commu
Karena itulah motivasi saya untuk menjalani perkuliahan semakin bertambah. Selain untuk menambah wawasan, beberapa mata kuliah juga mengajarkan hal baru yang tidak bisa didapat mahasiswa dari jurusan lainnya.
Jadi Guys, sepertinya saya tidak salah jurusan. Tetap semangat untuk calon sarjana Bahasa Inggris lainnya. Juga bagi mahasiswa yang masih menempuh jurusan Bahasa Inggris.
Mohamad Noor Andryan
Mahasiswa Bahasa Inggris Politeknik Negeri Malang semester 7.
Sedang Magang sebagai Jurnalis di Harian Disway.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: