Tutup Jatim Art Forum, Willyday Namali Sajikan Lir Ilir Berteknikal Metal
Untuk Jatim Art Forum, Willyday Namali tampil berbeda dengan membawakan beberapa komposisi lagu Jawa yang secara teknikal malah dihadirkan dengan unsur musik metal.--
Perlahan-lahan datang. Ia belum selesai dengan Lir Ilir. Bukan dinyanyikan, tapi dibacakan. Seperti rapalan mantra. Setengah bergumam. Melalui nada rendah dengan efek echo yang memberi gema atau pantulan suara.
Rupanya lirik awal tersebut dibunyikan, direkam, lalu datanya disimpan. Ia mulai membaca lirik selanjutnya pada bagian: Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir/Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore,
Ketika lirik itu dibacakan, Willy membawa kembali rekaman lirik awal. Sehingga pembacaan awal tampak seperti melatari lirik kedua. Layaknya dua orang yang saling bergumam bersahutan.
Begitu pula ketika Willy membaca lirik lainnya: Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane/Sun suraka surak hiyo. Ketika sampai pada kata ”hio”, ia membacanya dengan teknik vokal growl panjang. Serak, berat, dan bernada rendah.
Hasil komposisi Willyday Namali dalam meramu musik gamelan kontemporer, sesekali tak melepaskan atau mengurangi unsur-unsur dasar bunyi khasnya. Di beberapa part dalam aransemennya, ia benar-benar mengubah konstruksi lagu asli.--
Mantra pun kerap dilantunkan dengan gaya membaca dengan irama bernada rendah. Nada-nada rendah memberi efek keheningan. Bahkan sesekali digunakan untuk membuat suasana menjadi mencekam.
Meski latarnya adalah trash metal, suasana hening dapat dicapai dengan mendengarkan lantunan lirik Lir Ilir yang dibacakan Willy, berikut gema-gemanya. Itu jika pendengar mau berkonsentrasi dan berusaha menggapai ketenangan dalam keriuhan. Hal itulah yang mungkin menjadi esensi komposisi-komposisi Willy.
Pasca-pementasan, Willy hanya tersenyum ketika ditanya soal itu. ”Mungkin ya. Tak semua orang sih yang mampu menikmati komposisi saya. Karena struktur aslinya benar-benar saya ubah. Tapi kalau ingin memaknai, tergantung masing-masing,” terangnya.
Malam itu ia membawakan pula komposisi berjudul Korat dan Karit. Ia mengubah piranti gamelannya menjadi bersuara keyboard dan gitar elektrik. Sama dengan Lir Ilir, komposisi Sluku-Sluku Batok itu digubah dengan teknikal metal.
Komposisi kedua hanya ritmis berdentum. Gamelan dibunyikan seperti suara piano dan sesekali seperti efek gitar elektrik. Kemudian diubah kembali menjadi suara gamelan. Dalam sebuah part Sluku-Sluku Batok, suara melengking cymbal berbarengan dengan suara gamelan.
Malam itu, Willyday membawakan komposisi berjudul Korat dan Karit. Mengubah piranti gamelannya menjadi bersuara keyboard dan gitar elektrik. Pada Lir Ilir dan Sluku-Sluku Batok, digubah dengan teknikal metal.--
Mungkin dapat disebut sebagai dekonstruksi komposisi. Willy membongkar seluruh struktur asli, baik Lir Ilir maupun Sluku-Sluku Batok. Kemudian menafsirnya lewat aransemen, sesuai konsep artistiknya. Meski begitu, nuansa etnik suara gamelan tak sepenuhnya ia hilangkan.
Dalam irama pamungkas, Willy memainkan nada noise fade out. Perlahan-lahan menghilang, berganti dengan riuh tepuk tangan penonton. Sepertinya ia menggarap musikalitasnya secara total.
Sampai pada detail interaksi antara ia dan penonton. Peralihan antara akhir komposisi dan tepuk tangan terdengar halus. Seperti jadi bagian utuh karyanya. ”Untuk JAF, saya puas bisa membawakan beberapa komposisi lagu Jawa. Secara teknikal dekat dengan unsur musik metal,” ujar Willy.
Tentang penampilan Willy, Ketua Presidium DKJT Taufik Monyong mengapresiasi. ”Bibit-bibit seniman muda di Jawa Timur semakin banyak muncul. Jika penyelenggara menempatkan Willy pada hari terakhir, itu karena ia merupakan komposer yang potensial. Mampu memadukan kearifan lokal dan teknologi,” ungkapnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: