Islam Inspiratif, Bukan Aspiratif
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Meski secara harfiah berbeda, maknanya sama. Yaitu, agama apa pun (termasuk Islam) merupakan agama yang mulia yang harus diposisikan di atas politik dan negara. Karena bersumber dari Allah SWT yang jangkauan kewahyuannya lintas suku, etnis, dan bangsa, Islam perlu ditempatkan sebagai ”kekuatan supra” yang berdiri di atas semua kepentingan manusia yang tersublimasi dalam ”sistem”.
Dalam konteks menjalankan kepentingan, manusia menggunakan panduan teknis yang masing-masing memiliki keyakinan, pemahaman, dan standar tersendiri. Apalagi, manusia yang lahir dari bangsa dan generasi berbeda, peluang terjadinya perbedaan penafsiran makin terbuka.
Salah satu contoh munculnya fikih, termasuk fikih siyasah (fikih berpolitik). Untuk menyatukan kepentingan, agama hadir dengan nilai yang universal. Nilai-nilai tersebut merupakan inti tujuan agama atau dikenal dengan maqasid al-shariah. Bahwa agama hadir untuk memuliakan manusia, untuk menjaga jiwa dari kerusakan dan untuk mencapai kebahagiaan.
Agama sering kali dijadikan sebagai ”legitimasi” untuk memandu kepentingan, termasuk Islam. Bassam Tibi (2016) menjelaskan perbedaan antara Islam dan islamisme. Islam adalah iman, syariah, dan sumber nilai. Sementara itu, islamisme terkait dengan tatanan politik atau politik yang diagamaisasikan.
Agamaisasi politik berarti promosi tatanan politik yang dipercaya bersemai dari kehendak Allah dan bukan berdasarkan kedaulatan rakyat. Islamisme tumbuh dari interpretasi spesifik atas Islam, namun bukanlah Islam, melainkan ideologi politik yang berbeda dari ajaran Islam.
Dua bentuk yang diperjuangkan islamisme, yakni institusionalisasi dan jihadi, yakni dengan menjadikan Islam sebagai dasar, aturan, dan sistem negara dan pemerintahan atau melalui perlawanan terhadap sistem yang tidak sesuai dengan aturan Islam.
Meski bukan gagasan baru, agama sebagai inspirasi bukan aspirasi sangat relevan dengan konteks keindonesiaan yang besar dan majemuk, baik dari sisi agama maupun etnis. Apalagi, menjelang Pemilu 2024.
Sebagai sumber etik, agama harus memayungi semua kelompok untuk hidup berdampingan secara damai tanpa saling menyalahkan. Lalu, salahkah agama sebagai aspirasi? Jawabnya tidak, selagi agama tidak dijadikan ”alat legitimasi” untuk memaksa kepentingan yang seolah bagian dari ajaran pokok agama.
Agama cukup dijadikan sebagai sumber nilai yang menjadi landasan etik dalam menyampaikan aspirasi. Kenyataan agama sebagai sumber nilai etika politik sedang dilakukan oleh partai-partai yang berbasis Islam di Indonesia dengan mengembangkan platform ideologi yang lebih moderat (Bourchier, 2019; Fossati, 2019).
Dalam bahasa lain, kesadaran untuk menjadikan agama sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lili alamin) melalui jalur partai politik (inspirasi) sama kuatnya daripada sekadar melegitimasi agama untuk kepentingan politik sesaat (aspirasi). (*)
Abdul Chalik, dosen ilmu politik dan dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: