Pembunuhan di Kalideres, Dituturi Malah Mateni

Pembunuhan di Kalideres, Dituturi Malah Mateni

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

F dijerat dengan Pasal 338 KUHP, pembunuhan. Subsider pasal 365 KUHP, pencurian dengan kekerasan. Diancam pidana penjara maksimal 15 tahun. ”Motifnya kesal,” ujar Haris.

Pembunuhan di Kalideres itu sudah terjadi. Kelihatan jelas, korban melakukan kesalahan. Mayoritas pembunuhan terjadi lantaran kesalahan korban. Meskipun, itu bukan faktor pemaaf bagi pelaku. 

Hans von Hentig dalam bukunya, The Criminal and His Victim (Yale University Press, 1948), menyebutkan bahwa pembunuhan terjadi atas hasil interaksi antara pembunuh dan korban. Meski interaksi sangat minim. Kecuali, pembunuh gila yang memilih korban secara acak.

Hans von Hentig (1887–1974) adalah psikolog kriminal. Lahir dan dibesarkan di Berlin, Jerman. Ia pindah ke Amerika Serikat (AS) pada 1935, ketika AS dilanda krisis ekonomi parah (The Great Depression, 1929–1939). Lalu, ia mengajar di Universitas Yale, AS.

Hentig dalam studinya fokus ke viktimologi. Cabang ilmu kriminologi. Tapi, banyak ahli menyatakan kriminologi dan viktimologi bagai kakak beradik. Tak dapat dipisahkan. Jika mempelajari kejahatan, wajib mempelajari korban kejahatan.

Viktimologi berasal dari bahasa Latin: victima, berarti korban. Logos, berarti ilmu.

Tujuan viktimologi ialah mengajarkan kepada masyarakat, jangan sampai jadi korban pembunuhan. Pelajari sebelum dibunuh. Karena hipotesis kriminologi: mayoritas pembunuhan akibat kesalahan korban.

Teori Hentig kemudian dilanjutkan Martin F. Wolfgang, dalam bukunya, 

Victim Precipitated Criminal Homicide (1957), yang menganalisis pembunuhan lebih detail.

Wolfgang kriminolog spesialis pembunuhan. Ia mantan polisi AS di divisi pembunuhan.

Menurutnya, seperti dalam bukunya, suatu pembunuhan bakal terjadi jika memenuhi empat syarat.

1) Harus ada provokasi yang memadai. Dimulai dari topik pembicaraan antara pelaku dan korban. Kemudian, pembicaraan mereka bertolak belakang atau berlawanan.

2) Harus terjadi dalam panasnya nafsu. Pembicaraan antara pelaku dan korban yang berlawanan, jika diteruskan, kian lama kian panas. Masing-masing bernafsu menyakiti.

Panasnya nafsu (emosional) bisa dari pembicaraan antara pelaku dan korban atau pelaku sudah emosional sebelum bertemu korban.

3) Harus ada provokasi. Bisa oleh orang lain selain pelaku dan korban atau oleh topik pembicaraan pelaku dan korban. Atau adanya benda yang bisa dijadikan menyakiti orang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: