Bansos Nganggur

Bansos Nganggur

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PEMERINTAH daerah (pemda) belum benar-benar serius mengatasi kesulitan warganya. Triliunan rupiah dana bantuan untuk warga tidak digunakan. Menyisakan 1,5 bulan tahun 2022, baru 49 persen dana bantuan sosial (bansos) yang terserap. Bahkan, dana bantuan tak terduga (BTT) baru digunakan 12 persen. 

Jika bisa dimanfaatkan dengan baik, bansos dan BTT itu cukup membantu masyarakat di tengah kenaikan harga barang-barang pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Dana bansos di daerah cukup besar, Rp 11,45 triliun. Begitu juga BTT yang besarnya Rp 13,76 triliun. Baru 12 persen yang sudah digunakan. 

Pemerintah pusat sendiri juga belum memanfaatkan bansos dengan baik. Per Oktober lalu, dana bansos yang belum terserap sebesar Rp 124,4 triliun. Dari Rp 431,5 triliun, baru  Rp 307,1 triliun yang sudah disalurkan. Sisa waktu 1,5 bulan akan sulit untuk menyerap penuh dana itu. 

Tahun ini, sebenarnya dana bansos sudah banyak berkurang. Dari sisi nilai, turun 11,5 persen jika dibandingkan dengan 2021. Tahun lalu, dana bansos mencapai Rp 487,8 triliun. Bandingkan dengan tahun ini yang Rp 431,5 triliun. Yang mencapai 15,9 persen dari total belanja negara dalam APBN 2022. 

Sejak pandemi, dana bansos memang naik drastis. Tahun 2021, besarnya Rp 468,3 triliun. Tahun 2020, jumlahnya Rp 498 triliun. Itu naik dari sebelumnya yang hanya sebesar Rp 293,2 triliun di tahun 2019. Bahkan, tahun 2017 baru Rp 216 triliun. 

Penerima manfaat bansos itu sangat besar. Dengan asumsi tidak ada warga yang menerima lebih dari satu jenis bansos, ada 177 juta warga yang menerima bansos. Itu meliputi 36,8 persen penduduk yang kini berjumlah 272 juta jiwa. Belum termasuk bansos dari pemda. 

Program keluarga harapan (PKH) menyasar 10 juta keluarga penerima manfaat/KPM. Itu setara 40 juta penduduk. Belum lagi program kartu sembako untuk 18,8 juta KPM. Masih ada program Indonesia pintar (PIP) untuk 20,1 juta siswa dan KIP kuliah untuk 713,8 ribu mahasiswa. Sementara itu, penerima manfaat bantuan iuran (PIB) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 96,8 juta jiwa.

Itu belum termasuk anggaran perlindungan sosial melalui belanja non-K/L. Subsidi listrik diterima 37,9 juta jiwa. Belum subsidi LPG sebanyak 8 juta metrik ton. Kemudian, untuk program kartu prakerja, penyaluran subsidi bunga KUR, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), serta bantuan langsung tunai (BLT) desa untuk 8 juta keluarga di perdesaan.

Bansos pun masih bertambah pasca kenaikan BBM. Besarnya Rp 11,9 triliun. Perinciannya, untuk BLT BBM sebesar Rp 6,44 triliun kepada 20,65 juta KPM. Jumlah itu baru setengahnya dari anggaran Rp 12,4 triliun. Masih ada lagi BSU Rp 9,6 triliun. Pencairan anggaran tersebut telah disalurkan kepada 7,1 juta pekerja/buruh dari target 16 juta pekerja. Juga, ada tambahan dari APBD Rp 1,2 triliun.  

Dengan penerima manfaat sebesar itu, ternyata masih banyak dana bansos yang belum terserap. Itu tentu sangat disayangkan. Sebab, bansos bisa menjadi penyelamat banyak warga miskin dan hampir miskin. Kenaikan harga BBM yang memiliki dampak multiplier yang besar membuat daya beli masyarakat jatuh. Penduduk miskin pun naik lagi. 

Dalam pemulihan ekonomi seperti saat ini, belanja pemerintah (government expenditure) menjadi sangat penting bagi perekonomian. Termasuk pemerintah daerah. Sebab, itulah pendorong perekonomian yang bisa dipastikan dan  bisa dikontrol pemerintah. Konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor tidak bisa dikontrol pemerintah. 

Mengapa begitu? Nilai perekonomian suatu negara diukur dari produk domestik bruto (PDB). Umumnya, PDB dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yaitu produksi, pendapatan, dan pengeluaran.  PDB pengeluaran merupakan besaran nilai produk barang dan jasa (output) yang dihasilkan di dalam wilayah domestik untuk digunakan sebagai konsumsi akhir oleh rumah tangga, termasuk lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT), pemerintah, ditambah dengan investasi (pembentukan modal tetap bruto dan perubahan inventori), serta ekspor neto (ekspor dikurangi impor).

Dari empat komponen itu, konsumsi masyarakat punya kontribusi paling besar terhadap perekonomian. Secara nasional, kontribusinya mencapai 58 persen. Itulah yang juga menyelamatkan ekonomi nasional saat krisis keuangan atau krisis kesehatan seperti saat pandemi. Sebab, konsumsi lebih terjaga. Sementara itu, investasi dan ekspor sangat terganggu saat krisis. 

Melihat strategisnya anggaran pemerintah, para pimpinan pemda harus memiliki kesadaran tinggi untuk membantu perekonomian nasional. Juga, mencegah banyaknya warga yang jatuh miskin akibat kenaikan harga BBM. Caranya, sesegera mungkin menyerap APBD. Termasuk bansos yang hingga kini masih banyak yang menganggur. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: