Meimura, Heri Lentho, dan Christian Pambuko Berkarya untuk Masyarakat, Lingkungan, dan Tradisi

Meimura, Heri Lentho, dan Christian Pambuko Berkarya untuk Masyarakat, Lingkungan, dan Tradisi

Ekspresi Meimura saat berteater. Sekali waktu ia menjadi tokoh utama besutan. Yakni seseorang yang berpakaian serba putih dengan peci berujung bundar berwarna merah.--

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Seniman adalah pahlawan pada masa kini. Mereka yang tak hanya berkarya, tapi turut peduli dengan masyarakat, kelestarian lingkungan dan eksistensi seni tradisi. Berikut sososk Meimura, Heri Lentho, dan Christian Pambuko. 

Meimura

Namanya identik dengan teater dan ludruk. Selain berupaya melestarikan seni tradisi, Meimura menginspirasi banyak orang dengan mementaskan Ludruk Garingan saat pandemi. Sebuah pertunjukan ludruk monolog yang ia bawa ke pasar serta tempat-tempat keramaian guna meenyuluh pentingnya mengenakan masker.

Dengan format keaktoran ala Besut, Meimura menjadi tokoh utama besutan. Yakni seseorang yang berpakaian serba putih dengan peci berujung bundar berwarna merah. Sesuai dengan makna tokoh yang dibawakannya.

”Besut itu artinya mbeto maksud atau pembawa maksud. Dalam besutan, pementasannya pasti memiliki nasihat atau misi tertentu. Misi positif untuk kebaikan tentunya," terangnya. 

Anak-anak pun disasarnya. Terutama anak-anak. Di lingkungan tempat tinggalnya, Jalan Gunung Anyar Emas ia menginisiasi berdirinya Sanggar Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). Untuk memberi pelatihan seni tradisi dan paduan-paduan dengan seni modern. Gratis. Tanpa dipungut biaya. ”Selain melestarikan tradisi, anak-anak biar terhindar dari kecanduan smartphone,” katanya. 

Tabiat berkesenian Meimura dimulai sejak usia sekolah. Selepas SMP dan terpilih menjadi aktor terbaik Festival Drama Pelajar. Pada 1976, ia terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di daerah Petemon, Sawahan, dengan mendirikan Karang Remaja. Sebuah wadah untuk aktivitas berkesenian serta pengelolaan usaha mandiri. 

”Berkarya seni, belajar menjahit, mengelas, kemudian teman-teman waktu itu mulai buka usaha jahit-menjahit dan las di Jalan Patua. Jadi kalau sekarang Patua ramai dengan jasa permak, dulu kegiatan itu dimulai oleh Karang Remaja," ungkapnya.

Heri Lentho
Sebagai penari, Heri Lentho getol menggerakkan anak muda, supaya mereka turut andil dalam menghidupkan gairah seni di Surabaya.--

Sebagai seniman, Heri Lentho berkontribusi menggerakkan warna-warni seni budaya di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Heri-lah pencetus G-Walk Percussion, Eksotika Bromo, Surabaya Juang dan pengayom komunitas seni yang sebagian besar beranggotakan seniman muda: JatiSwara.

Pernah terlibat dalam gelaran tari nasional: Indonesian Dance Festival (IDF). Sepulang dari IDF, heri menggagas forum Surabaya Dance Festival. "Awalnya olah tubuh untuk anak-anak Sendratasik UNESA. Kemudian berkembang luas, karena saya mengenalkan konsep-konsep seni dan beberapa pementasan pada anak muda. Khususnya media sosial," ungkapnya.

Upaya itu berhasil menarik perhatian anak-anak muda dan turut bergabung, berkarya bersama Heri. Ia juga menggagas Festival Cak Durasim di kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Festival Budaya Jatim, Jatim Specta Night Carnival dan lain-lain. 

Kerja kesenimanannya telah berlangsung sejak lama. Saat berkuliah di IKIP Surabaya (Sekarang UNESA), ia menjadi aktivis yang menjalankan aksinya lewat media berkesenian. "Kalau suara dan demo dibungkam, kesenianlah yang bekerja," ujar ayah dua anak itu. 

Pada masa Orde Baru, ia melawan rezim dengan membuat pementasan berjudul Dwi Oknum, Telegram dari Sabin dan sebagainya. "Pengalaman diamankan, diancam aparat, pernah saya alami waktu itu. Semua itu yang membuat saya gigih dalam memperjuangkan apa pun. Termasuk menggerakkan anak muda, supaya mereka turut andil dalam menghidupkan gairah seni di Surabaya," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: