Makna Desain dalam Kebertahanan Media

Makna Desain dalam  Kebertahanan Media

-Ilustrasi - Annisa Salsabila-

INTINYA, saya adalah salah seorang peserta magang. Kira-kira begini. Saya belum lulus kuliah dari jurusan Ilmu Komunikasi, di Untag Surabaya. Saya belajar tentang bagaimana sebuah media berdiri, bertahan, bahkan berakhir. 

Kemudian datang satu kesempatan, yang kalau dipikir-pikir lagi, wah beruntung betul saya ini! Saya magang di salah satu kantor media berita yang lumayan hits. Sebagai desainer grafis. 

Lalu muncul pikiran di benak saya. Atau bahkan mungkin di benak teman-teman saya. Kok bisa? Kok bisa mahasiswa komunikasi magang sebagai desainer grafis? Ya, memangnya, di dunia ini apa yang tidak mungkin? Hahaha.

Walaupun sejujurnya saya juga penuh kebingungan. Bagaimana memaknai diri saya—yang seorang mahasiswa ilmu komunikasi—beralih profesi menjadi seorang desainer grafis. Modal nekat. Tampan dan berani.

Saya ingat betul apa saja yang saya lakukan selama magang. Membuat desain, membuat desain lagi, membuat desain lagi dan lagi. Eh, mungkin begitu saja. Kemudian muncul pertanyaan lagi, relevan tidak sih? Berguna tidak ya ilmu saya di jurusan komunikasi?

Akhirnya saya beranikan diri berdiskusi dengan kepala bagian desain Harian Disway untuk menjawab pertanyaan konyol dan kurang penting tadi. 

Dia, kepala desainer itu, berasal dari tempat yang semestinya manusia-manusia visual itu dibesarkan. Menurut dia begini: menjadi seorang desain grafis itu sebetulnya tidak perlu sekolah. Kalaupun iya, itu hanya menunjang sedikit sekali kemampuanseseorang untuk berkembang.Selebihnya hanya kreativitas.

Betul juga. Kadang, pikiran seperti itu yang menghambat saya dengan segala kemampuan dan peluang kreativitas yang mungkin saja saya punya. Barangkali. Hingga akhirnya saya hanya akan mengalami creative block dan pekerjaan jadi terhambat. Lagi.

Lain lagi cerita klise ubah-ubah nama folder revisi, sampai kejar-kejaran dengan deadline. Tak jarang ada permintaan ini-itu yang bikin kerjaan makin menggunung. Secara otomatis, sudah ada tuntutan untuk menjadi serbabisa dan serbatahu. Rasanya macam ingin dead...

Dulu, ketika pertama kali belajar desain dengan konsol seadanya, saya hanya berpikir jika nanti bekerja seperti ini, apa bisa menjadi sebuah profesionalitas yang bernilai? Sebab ternyata diskriminasi itu masih banyak terjadi. 

Pada dasarnya, persaingan antar sesama desainer grafis hanyalah sebatas krisis kepercayaan diri. Gaya desain seseorang dalam karyanya pasti berbeda. Sebaik apapun karya seseorang, pasti ada yang tidak suka. Begitu pun sebaliknya. Seburuk apapun hasil karya desain, pasti ada yang suka. Ada yang cocok.

Kepala bagian desain di tempat magang saya itu, namanya Nathania Christiyanto, juga menceritakan tentang pengalaman mendapat diskriminasi oleh sesama desainer grafis. 


BAHAGIANYA penulis (depan, kiri) bersama teman- teman sesama mahasiswa magang di Harian Disway di tengah event Kejurnas Wushu Piala Presiden 2022, 23 September 2022. Dia turut mendesain backdrop acara.-Dokumen Pribadi-

Kompetensi dia dipertanyakan. Hasil karya dia dibanding-bandingkan. Dan banyak diskriminasi lain yang hampir sulit dipercaya seorang desainer mengalami hal tersebut. Padahal menurut saya, desain grafis punya takhta tertinggi dalam menentukan bagaimana sebuah pekerjaan bisa berjalan. Ini berhubungan dengan pembentukan citra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: