Jokowi, Antara Relawan dan Parpol

Jokowi, Antara Relawan dan Parpol

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PRESIDEN Jokowi sudah tidak bisa nyalon lagi. Tapi, mengapa relawannya masih menyala-nyala?

Bahkan, makin ke sini, makin dekat pemilu, makin kencang. Terakhir, mereka berkumpul di Gelora Bung Karno, Sabtu, 26 November 2022. Di stadion yang akan menjadi venue Piala Dunia U-20 itu, Jokowi pidato bersemangat di tengah ribuan relawan. Ada yang menyebut jumlahnya mencapai 150 ribu orang.

Sebelumnya, para pendukung Jokowi dengan berbagai elemen itu juga pernah show of force. Mengumpulkan massa di Magelang, Pati, dan Bandung.

Relawannya itu adalah bagian dari kelompok pendukung yang memenangkan Jokowi dalam dua pilpres lalu. Sebagian dari tokoh-tokohnya sudah menjadi komisaris sejumlah BUMN atau duduk di kabinet.

Saat maju pilpres, Jokowi didukung dua sayap. Sayap parpol dan sayap relawan. Dua sayap itulah yang menjadi tim sukses yang membawanya sukses. 

Kenyataan saat ini, Jokowi lebih bersandar ke relawannya yang melakukan mobilisasi massa. Di tengah pendukungnya itu, Jokowi mengeluarkan berbagai sinyal politik, termasuk kode-kode capres yang akan didukung.

Sayap parpolnya? PDIP malah mengkritik acara itu. Dalam berbagai wawancara, para elite PDIP menganggap acara mobilisasi massa tersebut tidak dibutuhkan masyarakat saat ini. Apalagi, kata Masinton Pasaribu, anggota DPR dari Fraksi PDIP, saat ini masih dalam suasana turun naik Covid.

Masinton juga membantah kode Jokowi yang menjelaskan bahwa pemimpin yang memikirkan rakyat itu berambut putih dan wajah berkerut. Menurut ia, tak ada teori politik yang menyebut ciri fisik khusus bagi pemimpin yang memikirkan rakyat. 

Seharusnya, bagi Jokowi, PDIP tak hanya sayap politik. Sebagai kader partai, di situlah rumah politiknya. Tapi, kesan yang muncul, PDIP hanya sebagai ”house”, bukan sebagai ”home”.

Sebab, walaupun menjabat presiden, Jokowi bukanlah pengendali di rumah politiknya. Putusan capres PDIP mutlak di tangan ketua umum. Dan, sampai saat ini, Megawati Soekarnoputri belum mengambil keputusan.

Itulah bedanya Jokowi dengan presiden sebelumnya. Semua presiden terdahulu  memiliki kendali atas parpolnya. Dengan demikian, semua langkah politiknya langsung disalurkan lewat parpol. Misalnya, Soekarno yang mendirikan PNI. 

Soeharto dan Habibie punya suara menentukan di Golkar. Gus Dur punya PKB. Mega ketum PDIP hingga saat ini. SBY mengendalikan Partai Demokrat.

Jokowi yang akan mewariskan pembangunan IKN Nusantara tentu punya calon ”putra mahkota” untuk melanjutkan megaproyeknya itu. Masalahnya, calon yang diinginkan Jokowi belum tentu sejalan dengan putusan parpol yang menjadi rumah politiknya tersebut.

Kabar sekoci politik Jokowi berbentuk koalisi yang dibangun Golkar, PAN, dan PPP itu juga bukan hal yang mudah untuk meloloskan ”putra mahkota”. Ingat, Golkar yang sangat menentukan di koalisi itu mempunyai ketua umum yang juga sangat bersemangat jadi capres. 

Sumber: