Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Dijual Daendels Dibeli Lagi oleh Gemeente (2)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Dijual Daendels Dibeli Lagi oleh Gemeente (2)

Balai Kota Surabaya dengan bendera Belanda masih berkibar.-Koleksi Surabaya Tempo Dulu-

Peta Surabaya di buku H.F. Tillema, Kromoblanda menunjukkan bahwa setengah kota telah dikuasai swasta. Jadi tanah partikelir.


Banner Surat Ijo-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels menjual aset di berbagai daerah di awal abad ke-18 untuk membangun Jalan Raya Pos atau Grote Postweg. Secara tidak langsung, inilah cikal bakal surat ijo nantinya.

Satu abad kemudian,  Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan otonomi daerah. Pada 1 April 1906 dibentuk gemeente di berbagai daerah. Termasuk Surabaya.  

Dalam bedah buku karya almarhum Dr. Sukaryanto tahun lalu, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Profesor  Purnawan Basundoro mengatakan gemeente harus mencari sumber pendapatan untuk pembangunan. Maka, didirikan perusahaan pertanahan dibawah naungan gemeente. Yang pelan-pelan membeli lagi tanah partikelir itu. 

Tanah-tanah kosong dijual dalam bentuk kavling. Sementara yang sudah ada penduduknya disewakan. Warga yang membayar sewa ke swasta, kini punya tuan tanah baru: pemerintah Belanda.

Inilah permulaan bisnis sewa tanah antara pemda dan warga di Surabaya. “Tanah partikelir itu dibeli beserta penduduk yang menyewa di sana,” kata pakar sejarah Unair itu.

Ternyata praktik itu menguntungkan. Gemeente memperbanyak aset tanahnya. Perlahan tanah partikelir kembali dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Maka, jadilah tuan tanah terbesar di Surabaya adalah pemerintah daerahnya sendiri.

Setelah Indonesia merdeka, gemeente kiamat. Diubah jadi pemerintah kota madya. Semua aset gemeente beralih ke pemkot. Konsep tuan tanah yang menguntungkan itu dipertahankan. 

Sejatinya setelah merdeka, sistem sewa itu bisa langsung dihentikan. Namun, pemkot di era itu memilih meneruskan sistem sewa itu. "Tidak dilepas," ujarnya.

Persoalan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Surabaya. Kota-kota besar lain juga menghadapi persoalan tanah yang sama pasca kemerdekaan. Semuanya sudah menyelesaikan persoalan itu. Kecuali Surabaya.

Persoalan ini jadi atensi pusat. Muncullah Undang-undang Nomor 1 tentang Pelepasan Tanah Partikelir. Namun, aturan itu tidak menyentuh problem yang terjadi di Surabaya. 

Sistem tuan tanah tetap dipertahankan. Dua tahun setelah UU pelepasan tanah partikelir itu, muncul Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Inilah ketentuan yang jadi payung hukum pertanahan sampai sekarang.

Tanah hak barat dikuasai negara. Yang kemudian didistribusikan ke rakyat yang menetap di tanah itu.  Namun UUPA tetap tak menyelesaikan problem pertanahan di Surabaya. Makanya, Sukaryanto menamai bukunya Reforma Agraria Setengah Hati.

Persoalan ini belum selesai sampai sekarang.  Tanah surat ijo yang dikuasai pemkot mencapai 14 juta meter persegi. Separo dari 48 ribu pemegang surat ijo memboikot pembayaran retribusi.

Warga merasa belum merdeka. Setiap tahun tunggakan itu jadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Makin lama makin membengkak. Menggelinding bak bola salju. (Salman Muhiddin)

Asal Usul Nama Surat Ijo, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: