The Edge of Democracy

The Edge of Democracy

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Diktator partikelir itu tetap memperbolehkan media beroperasi. Namun, seperti kuda yang sudah dtunggangi dan dikendalikan, media sekadar menjadi tunggangan yang bisa dikendalikan. Media sudah terbeli dan selalu ditekan supaya melakukan sensor diri. Publik yang menggunakan media alternatif untuk menyuarakan pendapat kritis akan dijerat pasal-pasal kriminal. 

Ada beberapa indikasi yang bisa menjadi tanda matinya demokrasi. Yang pertama, rejection of or the weak commitment to democratic rules of game, penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Undang-undang yang sudah disepakati ternyata dipermainkan dengan berbagai macam cara. Sebab, rezim sudah menguasai semua perangkat kelembagaan demokrasi dalam kendalinya.

Faktor lain yang menjadi indikasi adalah readiness to curtail civil liberties of opponents, including media, melakukan pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan-lawan politik, termasuk media. 

Kasus-kasus pengekangan terhadap kebebasan sipil sudah banyak terjadi. Penangkapan dan penahanan dengan dalih yang dibuat-buat sudah terjadi di beberapa kasus. Pemakaian kekerasan terhadap lawan politik juga sudah terjadi. 

Tradisi demokrasi AS melahirkan contoh-contoh yang agung yang layak dicontoh. Salah satunya adalah the power of forebearnce atau kekuatan untuk menahan diri. Politik yang identik dengan perebutan kekuasaan akan membawa seseorang untuk bernafsu mengakumulasi kekuasaan selama mungkin.

Selalu saja ada godaan untuk berkuasa lebih lama ketika kesempatan itu ada atau memungkinkan. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo mulai menunjukkan gelagat ingin menambah masa jabatannya melebihi periode yang sudah diatur konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi itu bisa ditutupi dengan melakukan amandemen terhadap konstitusi yang memungkinkannya berkuasa lebih lama. Tindakan itu terlihat demokratis meski pada esensinya menghancurkan demokrasi.

Jokowi mengeluarkan Perppu Cipta Kerja untuk mem-bypass keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Bukannya melakukan perbaikan, Jokowi membatalkan undang-undang itu dan menggantinya dengan perppu. Tindakan tersebut dikritik pada aktivis demokrasi dan dianggap sebagai pembajakan terhadap demokrasi.

Seorang Jair Bolsonaro yang memimpin dengan gaya megaloman ternyata bisa dikalahkan Lula da Silva yang sederhana dan jujur. Akankah fenomena itu terjadi di Indonesia? Tidak ada yang tahu.

Anies Baswedan menonton film itu untuk mengisi waktu sekaligus mengajari Mikail mengenai nilai-niai demokrasi. Tentu tontonan tersebut lebih bermanfaat ketimbang membaca komik Sinchan.

Berikutnya, Anies berjanji kepada Mikail untuk nobar film Avatar, The Way of Water yang sedang menjadi box office. Kita tunggu, pesan moral apa yang bakal disampaikan Anies setelah menonton Avatar. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: